Kamis, 22 Agustus 2013

. . . . Cuaca Melbourne sedang tidak begitu baik sepekan terahir, begitu pula dengan sore hari itu saat aku hendak beranjak ke sebuah pertemuan. Mendung bergelayut dengan angin yang bertiup kencang membuat tubuh sedikit menggigil meski sudah terbungkus jaket tebal. Disini, di belahan selatan bumi, musim dingin masih belum sepenuhnya selesai meski beberapa hari lalu cuaca terang datang menjumpai. Kala itu, aku sendiri sempat menulis, ‘bye-bye Winter’ lewat status di media sosial. Tapi hari ini, ‘Winter’ seolah berbalik dan bertanya dengan sinis ‘ bye-bye for what ??!!’. Brrrrhhh, Dingin ..!! itu pasti. Tapi syukurlah, hujan masih menunda untuk turun meski awan hitak terlihat sudah memberat diatas sana. Jadi tak perlu ada basah yang membuat sore ini bisa menjadi lebih sulit. 

Sore itu, pukul 5 sore lebih sedikit waktu sini. Aku tengah bergegas untuk sebuah pertemuan yang sedari dulu ingin kuhadiri, dan itu akan dimulai satu jam lagi. Tajuk pertemuannya, sebagaimana yang tertera di undangan Facebook berjudul ‘Writing Workshop/Belajar Bareng’ dan yang menjadi penyelenggaranya adalah asosiasi pemuda Australia-Indonesia Cabang Victoria atau AIYA. Dari namanya sudah cukup jelas kalau asosiasi ini berisi kumpulan pemuda Indonesia dan Australia. AIYA ini belum terlalu lama kudengar, tapi aku tahu pasti mereka sudah lama berdiri. Tiap pekannya mereka rutin melakukan pertemuan, dan kegiatannya beraneka ragam. Dua pekan lalu misalnya diisi dengan latihan menari rampai, dan sepekan lalu diisi dengan ‘games ringan’. Setidaknya, seperti itu cerita yang kuperoleh dari seorang teman yang menjadi komite di perkumpulan itu, saat dia membujukku untuk datang beberapa hari lalu. Jujur, ada kekecewaan ketika di dua pertemuan sebelumnya tersebut, aku mesti alpa untuk sejumlah alasan, meski sebelumnya sudah ada keinginan yang begitu kuat.

 “Dan kali ini, tak ada alasan yang boleh lebih kuat dari keinginanku untuk hadir” gumanku sambil menatap sinis pada cuaca yang sedang tak bersabat dan ajakan berlatih futsal bersama teman-teman pada jam yang sama. 

 15 menit sebelum jadwal, aku tiba di lokasi pertemuan, Kampus RMIT yang letaknya hampir tepat di tengah kota Melbourne. Tiba disitu dalam keadaan ‘buta peta ruangan’ dan sendiri. Ini memang kampus yang tak terlalu akrab buatku, meski beberapa waktu sebelumnya pernah datang main-main dengan seorang teman. Pecarian dimulai dgn bekal sms singkat nomor ruangan yang kemudian salah kubaca …. grhrgrrrhrgrr. Sms itu bertulis ‘ruangannya di 80.08.08’ namun kemudian kubaca ‘ruangannya di 08.08.08’. Hampir 15 menit terbuang bolak-balik di dalam gedung itu. Beberapa orang disitu terlihat mulai menandai-ku sebagai ‘orang sesat’ (itu yang kurasakan tentang apa yang mereka rasakan) namun tetap kukuh ditempat mereka dan tak membantu. Padahal, saat itu aku sudah bertekad kalau ada yang membantuku dan dia seorang wanita, akan kujadikan pasangan. Pffttt .. 

 Situasi menjadi tak terkendali (lebaay) saat rekan yang menjadi anggota komite itu coba kuhubungi, tapi bersambut. Mungkin dia tengah menyibukkan diri dengan pertemuan itu, pikirku. Kebodohanku mulai terurai saat nomor ruangan tersebut coba kutanyakan pada seorang sahabat lain yang dulu pernah bersekolah disini. Dia sudah menyelesaikan pendidikannya dan sekarang tengah menikmati suasana kampung halamannya. Dari dia aku baru sadar, bahwa salah Aku Baca ……… 

 Tak perlu berpanjang lebar tentang bagaimana aku akhirnya menemukan ruang pertemuan yang dimaksud, yang ternyata letaknya di gedung yang berbeda dari tempatku bermondar-mandir tak jelas tadi. 

 Akumulasi waktu tersesat yang terbuang percuma tadi berbuah keterlambatan. Dari luar ruangan terlihat kalau mereka sudah memulai, dan sedang bergumul serius dengan kertas-kertas dihadapan mereka. Pada awalnya agak kikuk untuk masuk. Ini kali pertama, dan aku datang terlambat. Plus, rekan yang mengundangku ternyata tak tampak diantara mereka. Kaki berjalan perlahan sementara mata jelalatan memandangi para peserta di dalam, mencari siapa yang dikenali dan berharap ada. Bingoo .. !!! aku melihat mengenali dua wajah diantara mereka. Nick dan Tim …They are here .. !! aku mengenal dua orang ini, cukup baik. Mereka berdua, ‘Anak kampung sini’ yang hampir tiap pekan ikut bermain bola bersamaku dan teman-teman di komunitas Indomelb. Keduanya pernah tinggal di Indonesia untuk beberapa waktu, tepatnya di Yogya. Si Nick, bahkan sangat fasih berbahasa Jawa, komplet dengan medhok-medhok-nya ..


 

   Melihat mereka di dalam ruangan itu, langkahku mulai terasa lebih ringan. Akupun masuk dan memberi sapaan pelan pada semuanya tanpa ingin mengganggu apa yang tengah berjalan. Mencoba mengakrabkan diri sengan suasana disitu, ada sedikit kekecewaan yang muncul saat mengetahui kalau pertemuan kali itu lebih banyak dihadiri oleh ‘anak kampung sini’ dibanding kita dari Indonesia. “kenapa cuman ini yang datang .. ??”. pikirku.

 “Ahh, mungkin hanya kali ini orang Indo-nya sedikit” balasku, menghibur diri sambil mereferensi ke cuaca yang sedari sore sedang tak ramah.
  
Aku memilih duduk di kursi kosong tepat disebelah Nick. Di sebelah ku lagi, seorang Aussie yang terlihat tengah sibuk dengan tulisan-tulisan tangan berbahasa Indonesia di bukunya. Tak butuh waktu lama, kami bertegur sapa, dan dia langsung menanyakan apakah aku membawa tulisan berbahasa Inggris. Memang, pertemuan di kali itu kami hendak saling mengoreksi dan membantu memperbaiki. Boleh tugas, catatan kecil atau apapun itu. Sayang aku tak membawa apa-apa, meski sebenarnya ada. Di laptopku, dirumah sana, ada 2500 kata assignment yang tengah ku selesaikan tapi tak terbawa, dan aku memang tak berniat membawa. Saat itu aku berpikir, tulisan masih ‘terlalu kasar’ dan membingungkan untuk untuk dibaca oleh orang selain aku sendiri. 

 Aku lalu membalikkan pertanyannya. Dan dia memperlihatkan tulisan-tulisan tadi. Bertinta biru dengan sejumlah coretan dibeberapa tempat. “Aku sedang menulis tentang pengalaman paling berkesanku” katanya sambil memperlihatkan. Ternyata dia sudah mencoba sebagian, namun ingin mengulangi lagi karena merasa tak begitu puas. 

 Aku mulai membantunya menyusun kata demi kata, membentuk kalimat, melalui sebuah proses komunikasi yang bercampur aduk antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada saat perasaan ‘menang’ saat tahu kalau kemampuanku berbahasa Inggris-ku ternyata berbanding jauh dengan kemampuannya berbahasa Indonesia ….. whehehehe’ (ketawa licik) .. Tapi ada rasa terharu saat melihat dia berupaya keras menyelesaikan tulisan itu. 

 Kolaborasi antara Seorang yang tidak memiliki pengalaman mengajar menulis dan orang yang baru mengajar menulis itu akhirnya berakhir dengan kalimat : “ . . dan itu adalah pengalaman yang tak terlupkan bagiku”. Dia, yang bernama Cordell, mengakhiri catatan kecilnya yang berisikan pengalaman saat tampil membawakan tari Rampai pada sebuah konfrensi beberapa waktu lalu. Catatan itu tidak begitu cemerlang memang, dan tidak begitu mengalir. Aku tidak terlalu memaksakan, dan membatasi diri hanya untuk membantunya membuat kalimat sempurna. Ahh sudahlah, ini proses. Tidak ada yang langsung sempurna disetiap proses belajar. 

 Kami selesai, saat yang lain masih tenggelam dengan aktifitas mereka. Aku mencoba mengenal dia lebih jauh dan menelisik jejak ketertarikannya tentang Indonesia. Dia lalu menuturkan bahwa dia adalah peserta program pertukaran pemuda Indonesia-Australia beberapa bulan yang lalu dan sempat berada di Yogya untuk dua bulan. Itu membuka obrolan panjang kami, karena salah seorang juniorku semasa di S1 juga menjadi peserta di kegiatan ini. Selanjutnya kami berbagi cerita tentang pengalamannya …….

 Di titik itu aku mulai merasa ‘masuk’ dengan kegiatan ini, semuanya menyenangkan. Bersama rekan Indonesia yang ada disitu , kami saling membantu, dan mencoba menjelaskan kata demi kata dari bahasa Indonesia dan bagaimana menggunakannya dalam konteks-konteks khusus kepada ‘anak kampung sini’. Sekali lagi, semuanya menyenangkan. ‘Keceriaan’ malam itu bertambah dengan suguhan Pastry dari seorang sahabat dari Indonesia, yang saat ini tengah mengambil pendidikan ‘Chef Pastry’ di Melbourne sini. ^_^ …. 

Waktu bergulir, dan pertemuan malam itu mesti berakhir. Si Cordell, sudah terlebih dahulu pamit karena mesti ‘dinner’ bersama keluarganya. Sebelum beranjak, dia sempat berjanji akan ‘membalas jasa-ku’ dengan mengedit (proofread) tugas-tugasku di kemudian hari .. ahaaaa .. !!!! Usai bertukar email, dia berlalu … 

 Kami yang tersisa tak lantas bubar, kegiatan ‘informal’ berlanjut dengan dinner bersama di sebuah restoran Indo yang terletak tak jauh dari situ ……. 

Ini kegiatan yang menyenangkan. Sekali lagi, ada sedikit penyesalan kenapa baru kali ini melibatkan diri dengan mereka. ‘Kemana saja saya selama ini .. ‘ Waktu-ku di negara ini tinggal 5 bulan tersisa. Sudah waktunya memperkuat jaringan, dan dan membangu hubungan baik dengan mereka-mereka disini. Ketertarikan kami semua sama, yaitu tentang hubungan baik antara kedua negara di waktu kini, dan nanti dimasa depan. 

 Dan Ke-depan nanti aku berharap tidak ada hal signifikan yang bisa menggangguku untuk terlibat dengan mereka …

Melbourne,  22 August 2013

Minggu, 09 Oktober 2011

Mutant



X Man 1st Class … Pada babakan akhir film itu, para Mutant harus membuat pilihan tegas. Mengikuti Magneto, atau tetap tinggal dengan Alex.

Mereka terbelah. Ada yang tinggal, dan sebagiannya lagi memenuhi ajakan Magneto. Termasuk diantaranya adalah Raven, seorang mutant yang sejatinya adalah sahabat Alex sedari kecil. Bagi Raven, ini bukan persoalan meninggalkan seorang sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Ini persoalan pandangan hidup, perihal eksistensi mereka ditengah manusia awam. Raven, selama ini mungkin terusik pada kenyataan bahwa mereka, yang memiliki kelebihan dibanding manusia lain, mesti senantiasa menyembunyikan apa yang menjadi perbedaan itu agar tak terlalu tampak secara kasat bagi orang ‘normal’. Dia harus menyembunyikan bentuk asli-nya, yang berbeda dari manusia lain.

Setidaknya seperti itu permintaan Alex semenjak pertama mereka bertemu. Bagi seorang Alex, mutant yang meraih gelar professor di bidang mutasi genetis, manusia biasa belum fasih terhadap perubahan gen yang dia dan kawan-kawannya alami. Akan ada kegoncangan besar jika para mutan seperti Raven, yang bertubuh biru dan bersisik, tiba-tiba muncul di tengah orang normal. Untuk itu, bagi Alex, para mutant sebaiknya berlaku biasa saja, selayaknya manusia lain. Tak perlu menunjukkan perbedaan ataupun talenta yang mereka miliki dan Jangan terlalu mencolok !!!

Sementara Magneto, hadir dengan kegundahan yang sejalan dengan Raven. Kenapa mereka mesti terlihat seragam dengan manusia kebanyakan? Apa yang salah dengan perbedaan yang mereka miliki? Bagi Magneto, Membiarkan adanya tekanan untuk sama seperti yang manusia-manusia lain, adalah pembelengguan terhadap talenta serta potensi yang mereka miliki. Mereka terlarang untuk menjadi ‘dirinya yang berbeda’ karena itu tidak sesuai dengan alam pikir mayoritas yang ada saat itu. “Itu adalah kesalahan Besar !!” begitu mungkin pikir Magneto.

Dan di Pantai itu, mereka terbelah. Perseteruan dua kubu Mutant pun bermula . . . .

***

Imaji hiperbolis tentang Mutasi Genetik memang mendapat ruang kampanye yang menarik lewat deretan film X-Man, termasuk sekuel X-Man 1st Class yang baru usai kulahap. Dan sejauh ini, sejauh yang aku ketahui, manusia masih terlahir ‘normal’. Belum ada ‘manusia berbeda’ yang hadir sebagai buah dari perubahan genetis di tubuhnya. Belum ada berita tentang seorang yang bisa memunculkan api dari jentikkan jemari tangannya, atau seorang yang bisa merubah bentuk sesuai dengan keinginannya. Perubahan itu memang ada, namun dalam taraf yang sedemikian kecil.

Tapi sebagian kita mungkin bisa menyanggah dan berujang jika ‘orang-orang yang berbeda itu’ sudah hadir diantara manusia, dan kita mungkin juga sudah mengenal mereka. Bentuk dan ‘kelebihan’ mereka memang tidak se-ekstrim Raven,ataupun Magneto. Tapi mereka punya secuil kesamaan : mereka berbeda, dan mau berbeda dari manusia kebanyakan. Mereka ini, juga adalah orang-orang begitu sadar akan potensi yang ada dalam diri mereka, dan berani tampil untuk memaksimalkan segenap potensi itu meski harus terlihat berbeda dari yang lain. Dan karena hal itu pula, mereka akhirnya menjadi ‘berbeda’ dari orang-orang kebanyakan.

Adagium klasik tentang kehidupan berujar bahwa setiap individu memiliki talenta besar dalam dirinya. Potensi itu, berebeda antara satu dengan lain. Ada ke unikan-an dalam setiap kita. Hanya saja, kehidupan, dengan segenap sistem nilai dan kemapanan yang dibuat oleh manusia, terkadang --atau bahkan sering—menjadi penghalang bagi setiap manusia untuk menyadari keberadaan potensi diri itu. Manusia, cenderung gagal untuk menemukan ‘dirinya’ di tengah desakan dari lingkungan sekitarnya. Adapula yang bisa menyadari potensi-nya namun kemudian harus tunduk dan bertekuk lutut pada suara kebanyakan.

Kita, di hari ini, tengah hidup di sebuah dunia yang terbentuk dari deretan panjang kemapanan sosial. Tentang bagaimana kita hidup, dan juga bagaimana supaya kehidupan kita menjadi lebih baik. Pemahaman itu, tampak seragam di kepala sebagian besar manusia. Salah satu dari pemahaman itu mungkin seperti ini : “Semakin Tinggi sekolah maka Semakin hebat-lah dirimu. Dan berhenti sekolah adalah keruntuhan bagi masa depanmu” . Itu konsepsi umum yang dipercaya kukuh oleh banyak orang .. Tetapi tidak bagi sebagian kecil orang. Sebut saja bagi seorang bernama Steve Jobs, pendiri Apple Coorporation yang baru saja meninggal beberapa hari lalu. Sekolah setinggi-tingginya mungkin bukan pilihan tepat yang bisa membentuk masa depan bagi Jobs di masa muda. Dia memilih untuk meninggalkan bangku kuliah, meski itu membuatnya dinilai ‘tak wajar’ oleh lingkungan sekitar. Dia menepi dari system nilai yang dianut oleh masyarakat banyak, dan dengan sadar, berfokus untuk mengembangkan potensi dirinya. Mungkin saja, ada cemooh dan celoteh yang tidak nyaman bagi keputusan Jobs kala itu. Tapi, setelah apa yang diperolehnya di hari-hari ini, siapa kira-kira yang masih mau mencemooh Jobs ??

Steve Jobs tidak sendiri. Ada banyak ‘orang besar’ lain yang sukses ‘bermutasi’ karena berani menerobos kemapanan nilai-nilai social yang ada di masyarakat. Kita juga mengenal seorang bernama Mark Zuckeberg, pendiri Facebook, yang dulu terasing dari lingkup sosialnya di kampus ternama, Harvard University. Jarang memunculkan diri di kegiatan kampus, dia memilih menjadi penyendiri. Tapi itu bukan kesendirian yang kosong. Di kamar, dia ‘bermain-main’ dengan segenap potensinya hingga akhirnya sukses mengkreasi sebuah situs jejaring sosial terbesar yang pernah ada. Saya tidak tahu, apakah Magneto dahulu pernah bertemu dengan Jobs ataupun Zuckeberg dan menasehati mereka untuk mengembangkan apa yang ada dalam dirinya secara total, serta tidak takut untuk mengembil jalan ‘berbeda’ dari yang lain.
Jobs dan Zucke memang bukan anggota kelompok imajinatif, X-Man. Tapi, cerita tentang orang-orang besar seperti mereka, mungkin bisa sedikit membuka ruang berpikir bagi kita, bahwa setiap manusia punya potensi untuk ‘bermutasi’. Bukan secara fisik, tentunya, tapi secara mental. Semua diawali dengan menyadari potensi terbesar yang ada dalam diri, dan kemudian mengambil sikap berani ‘berbeda’ dari orang kebanyakan. Untuk poin yang terakhir ini, kita mengenalnya dalam kata ‘kreatifitas’. ‘Jangan pernah takut untuk berbeda’, kata itu cukup sering keluar dari mulut para pesohor jika ditanya tentang apa rahasia sukses mereka.

Dalam ‘buku pengembangan diri’ (yang semasa saya kuliah dulu disebut ‘buku Kompa-Kompa’) kerap disebutkan bahwa kita harus bisa mengambil jalan berbeda untuk bisa menjadi ‘lebih’ dari manusia kebanyakan. Hukum logika juga mungkin sejalan dengan itu: ‘Jangan berharap hasil yang berbeda jika kau melakukan sesuatu dengan jalan yang sama’. ‘Mutasi’ mental dari orang-orang seperti Zucke dan Jobs juga bersandar dari pemahaman ini, mungkin.

***

Oh iya, semasa SMA dulu, wali kelas kami, yang kebetulan guru Bahasa Ingggris, menganjurkan agar kami untuk terus melatih diri dengan bercakap-cakap Inggris meski diluar jam pelajarannya, termasuk saat jam isirahat. Tentu saja, kami segan mengikuti anjuran itu, “Ah, malu Bu. Nanti kita dianggap sok sama teman-teman dari kelas yang lain” ujar kami beralasan ….

dari situ jelas sekali, kami takut dianggap berbeda. Dan akhirnya tidak pernah menjadi 'sesuatu' ..

Kami, bukan pengikut Magneto, tentunya …

Minggu, 07 Agustus 2011

Letter (3)


Dear Deeva,
Happy weekend .. !! I wish you’re enjoying your weekend now. Hmm, If you wanna say the same thing for me too, here’s my reply: Yes, ‘I’m enjoying my weekend here’.

But you know, yesterday I just had my ‘tough fasting’ since the day 1st. In the early morning, we had a futsal games held by my campus. But, it wasn’t a regular weekly game, and a bit like annual tournament among us (I didn’t know why they held this tournament in the early morning when some of us are Fasting). Actually, I didn’t want to play, coz I knew what the Impact that would come. So I came to the field without any preparation. Just wanted to visit and supported the ‘students team’ –which was against IALF crew--. But everything changed when I saw the Ball, Futsal field and ‘enthusiasm of my friends’. Hahaha, it was like a cat seeing fresh sardines. Suddenly, I really wanted to play. The desire was coming overwhelmed me. Moreover, some my friends, who were fasting too, persuade me to join. “Fasting is not a reason for away from sports” they were begging me to play. Shortly, I ran back to my room, took my shoes and got ready for the action.

Deeva, It was hard because we didn’t have sufficient replacement during that match. I had to play 60 minutes and lost a lot of water without re-supplied it. But I was happy, our team won 11-7 and I scored 4 goals. My friends prized me because I played attractively. Hahahaha, they just don’t know that ‘I was born for football’ ….. After that game, I went home, and got shower to cooling down . . .

It was still 10.30 in the morning, but I’ve felt badly exhaust.

After washed up, I went to campus for ‘movie time’. You know Deeva, every Saturday in here we have movie hours until 16.00 in the afternoon. But yesterday, I arrived there only to know that I didn’t interest with movies that played. I forgot the title, but I left the movie room for read magz.

I was enjoying read an article when a friend asked me to accompany her to visit some places. Her friend from Belgium come visiting. She said that she need me to ‘break the silence’ during that trip. That tourist was not her close friend, actually, but the nephew of her close friend. They only meet once before. Oh, ‘the tourist’ name is Jein. She speaks French and I loved when she teach us during that trip.

Our first destination was Uluwatu, located in the south of Denpasar. It is rocky cliff facing the ocean. Great scenery I think. But the most captured story was not about that. It was about my friend glasses that stolen by a naughty monkey. Yeaah, there are many monkeys at there. We should buy some pieces of fruits as barter for my friend’s glasses. Thanks God, it returned . . .

We were walking along the edge of cliffs under the heating sun. My exhausting was getting worse, I tell you. Unfortunately, I was the only fasting in that trip. So when they took a time to have drink, I just sat enjoying ocean view from the top of the cliff. It was hard to see they were drinking. Thanks GOD, the ocean winds relieved me. That was the most beautiful landscape I ever seen in Bali since I arrived here.

Deeva, if we are here someday, I promise to take you there. That is a piece of Bali that you must see ..

Our two next stop were beaches. It was because we guided an Belgium who never see a white sands in her country. For me, they were not really attracted me. Anyway, hot sunny day among people using bikini, it was a real test for my temptation. Hahahaha … So, I got away from beach, climbed a hill nearby and sat there. I felt better at that hill, it was shady, strong wind and I can see much better along the sea. However, I couldn’t hide that I was very thirsty.

The trip ended right before dust. I broke my fasting in our way home. I was glad that I passed that tough day.

I was happy at the end. Visited 3 new places in a day and make a new friendship with Jein. You know, we shared many stories along trip, as well as laughed together. She said that she would be glad if I visit her in Belgium someday. Belgium is small country, she adds, so it just needs 2 hours to cross the border to Germany, Holland or France. She promise a ‘3 countries trips in a day’ if I go to Belgium. Exciting, isn’t it ? Care to join me? I’ll be glad if you would … ^_^ .. Hahahahaha

Deeva, another happiness for this weekend is because English Premier League will be began by Charity Shield match between my Favorite Manchester United against Man. City tonite’. I don’t wanna miss that match, and many others that come up. So I decided to buy TV tuner for my laptop. I saw a friend who using and it looked good.

Dee, I think that's all for now. I gotta go . .!! I'll see later, by letter of course .. ^_^ Luv yaa

Rabu, 03 Agustus 2011

Leter (2)


Dear Deeva . . . . .
Happy Fasting month . . ^_^ !! Real sorry from me if it sounds late coz we’ve passed 2nd day already. Thanks GOD, I’ve done the opening day successfully. How about you . . ? Don’t say you missed that . . . .

Yesterday, I would have to write you this letter but I can’t. I was too tired after spent a ‘different’ weekend. Yes, it was different because for the 1st time I made trips out of Denpasar since 3 months living here. A relative picked me on Saturday. Took me to his house and arranged me some outer city tour.

Actually, I have had clear plans about my weekend, including sports (as I’ve told you) and finishing my writing homework. But suddenly a short massage came in. It was an invitation for a recreational weekend from Pak Ketut, my neighbor when I was living in Poso some years ago. His wife was my mom’s work-mate in Health Department. And we’ve had a close relationship. In 2000, when mass riot flamed in Poso they fled the town and headed to several safer places until finally stayed in Bali to relieved their life. After almost 10 years in Bali, they life is far better than before ( I know how were they live). Pak Ketut has been experiencing a massive success with his private company. Now, they are living in a new-luxurious 4 floors house located in the northwest Denpasar.

Btw, it was his 3rd invitation that I’ve received. Two others were forcefully rejected by me. Not because I won’t (damn fool me to refuse that) but I had a group home works at that time. Little bit inconvenient, honestly. So, when it came for the 3rd, I accepted that without a doubt. Even though I should missed badminton games and postponed to finish my writing homework.

I welcomed warmly in their ‘castle’. We spent much time to share stories. You know, Ibu Wayan is mom’s close friend, so the conversation ran a bit emotionally . . . . . (so much to share you about this actually). Something that attracted my attention at that home is HAMSTER. You should know that kind of rat. Pak Ketut son named Agung have some Hamsters in his glass-boxes. They looked cute especially when play with roll-wheel. Agung offered me to bring home one of those Hamsters, but refused because I wasn’t sure if I can cope with them. Many things should be prepared . . .
Hmmm . . . in the 1st day tour, I visited some sites such as Tanah lot and Taman Ayun. The first one is quite familiar for me because I have been there with my schoolmates years ago. But still, it was great scenery. I walked farther than my 1st visiting, actually.

Our next stop was Taman Ayun which is located in Tabanan. I just heard about that place, honestly. Not as much familiar as the other Tourism sites. But, I would tell you that it was another sacred place in Bali. That is an old temple which is surrounding with well-managed green garden and placid river. Everything was running quietly there. Nice place for meditation maybe. Hahahaa

In the next day, Sunday exactly . . . we went to Karanganyar. It was a 2 hours driving along the eastern coastline of Bali. We passed on the bypass street which was look a like in South Sulawesi to me. Yeaah, the ‘concrete-made high way streets’ along with the rice field on its both sides reminded me to Trans Sulawesi highway (Pangkep-Maros-Baru). It was pretty similar for me . . . .

Anyway, I don’t wanna talk much about my weekend trips until we meet later. I’m afraid that I have no more stories to share with you. Just keep in your mind that I still have incomplete one . . . See ??!!

Deeva, Today (2nd day of fasting) I got a little trouble with my digestion. I took several times to the toilet just a couple minutes before I ended my fasting. Forcefully, I surpassed my Harry Potter ticket to someone else. Until now, I still feel horrible, but I don’t know exactly what the culprit is. A friend joked that it is because of the increasing of stressful in me.

He is could be right or might be wrong. But one thing clear is that everything is getting serious in here. We should prepare for 2000 words discussion paper and class seminar. I must spend much time in searching and looking for the relevant resources.

Anyway, it is 16.40 pm in here. Class just finished. I should go home . . .
See you later . . !!!!

Jumat, 29 Juli 2011

A letter (1)


Dear Deeva,

It is almost midnight in here when I'm writing this letter. Maybe you already sleeping now, but I can’t. Not because I won’t, but I just can’t. I don’t know exactly why it is. I’ve tried to close my eyes for sometimes, turned off the light, and played some lullaby in my laptop, but nothings worked. No idea about what to do, I decided to write you a letter –again-.

Actually, I’ve forced myself to sleep faster tonite’, because tomorrow I’m gonna have futsal games with my palls. It is in early morning and I can’t wait for that. Further more, I don’t want this ‘sleepless’ affecting my performance badly. You know, I’m always exciting with football, and it will always like that. But since living here, I have to make a peace to some different habits, such as : I can’t do sports as much as I did in Makassar. Hmm, Saturday is the only day when I can feel sweats after sports. It is nothing to compare with my daily exercise in Makassar. I tell you about this, so you will not shock if you see some ‘changes’ in my ‘body looks like’ (particularly surround my hip) when I return home.

Time is running so fast, and I’ve been here for more than 3 months. Half way of my English training has passed by. I don’t know exactly how improved I have after this period, because my marks fluctuated in every training session. Sometime I got good point, but sometimes it fell dramatically. I can’t predict about the real test in upcoming October, but I know that I MUST get at least 6,5 in my IELTS test at that time. I’m expecting for 7 actually, so I can meet the Melbourne University’s requirements. Joining the best University in Australia is something that I can proud about.

Three months ahead will be the climax of my struggle. Not just about to get a high IELTS score, but in adapt and learn about Academic system in Australia. We gotta learn more about Writing Assignment, and Class Presentation. I must submit 2ooo words discussion paper related to my subject by the mid of September. Along with that, I must arrange a class presentation with a partner. Fuiiihh . . . many things to do, but I’m enjoying them. So far, at least . . .

By the way, deeva, I’ve passed successfully my English presentation this morning. Yeaah, we were asked to choose a news article that deserved to appear in front page of a weekly magazine. Everyone must present the news in front of the classmates and convince the other that his/her news is the most important one. Thanks GOD, I can convince them, and my presentation was voted as ‘The Most Convincing’. I think, I’ve made a nice presentation slide which was attracted some them. Hehehehe . . .

In this afternoon, after the class, we –again- had a guest lecture form Melbourne University. However, I didn’t attend it because I picked a friend to the airport. I felt a little bit sorry because I heard that most of my friends hailed the lecturer. They praised him because the discussion was remarkable. The topic was interesting as well as the presentation. Fuiihh . . I think I missed a good lesson.

Hoaaahhmmm . . . Deeva, too bad that I begin to feel sleepy when I begin to enjoying write you this letter. Funny, coz’ now I tried strongly to keep my eyes open. But it just failed. I should get a sleep now. . . . Sorry if you’ve been waiting too long for my words. I intent to send you letter regularly in the next time.

Anyway, you don’t have to worry about my life in here. Everything I need is fulfilled well. I’m surrounded by nice people and supportive environment. In short, all is well . . . . !!!
See your letter, Deeva.
PS :

Minggu, 01 Mei 2011

A lovely 1st week




. . . Minggu, 1 Mei 2011. Goresan silang di deretan angka dari kalender kecil-ku yang berdiri di atas itu meja sudah sebanyak 7 buah. Yuppss, ini hari ke tujuh atau seminggu persis dari perjalanan baru-ku di tempat ini. Sebuah perjalanan yang dahulu masih sebatas mimpi riang yang berlangsung sesaat. Ini kehidupan yang memang kuharapkan, ini jejak yang ingin kutelusuri. Dan yang menyenangkan –setidaknya sejauh ini--, seluruh gerak alam seperti menerimsaya dengan tangan terbuka. Dalam kehidupan ini, saya seperti menjadi tamu yang memang sudah dinantikan.

Semenjak awal, sejumlah ketakuatan minor yang sempat hadir, nyaris tidak kutemui. Ketika hendak berangkat, misalnya. Tiba-tiba saja, seorang kerabat menawarkan diri untuk menjemput-ku setiba di bandara. Namanya Pak Nyoman, seorang keturunan Bali yang besar di Poso. Orang tua Pak Nyoman, sudah berimigrasi ke Poso semenjak berpuluh-puluh tahun lalu. Dahulu, sewaktu masih di Poso, dia bersama keluarganya, tinggal tak jauh dari rumahku. Ketika kerusuhan Poso pecah, mereka memutuskan untuk meninggalkan kota itu untuk menetap dan memulai hidup baru di Pulau Bali, tanah leluhurnya. Istri Pak Nyoman, namanya Ibu Wayan, adalah teman sekantor dengan Alm.Ibuku. Dan kami memang sudah berhubungan baik semenjak masa itu.

Setiba di Bandara Ngurah Rai, Pak Nyoman sudah menunggu disana. Mungkin sudah agak lama, karena pesawat yang ku tumpangi sempat delay 1 jam dari jadwal sebenarnya. Saya, yang memang dahulu kerap ke rumahnya, masih bisa mengingat wajahnya meski lebih 10 tahun tak pernah lagi bersua. Ternyata dia pun begitu.

Usai mengajak makan (yang tidak kutolak karena rasa lapar pasca penundaan keberangkatan), kami langsung bergerak ke rumahnya. Jadilah malam itu, saya menginap di kediamannya. Yahh, sambutan mereka begitu hangat. Mereka terus meyakinkanku untuk tidak segan memberi kabar kalau membutuhkan sesuatu. Perlahan, saat itu saya mulai berguman kecil “ .. Alhamdulillah, saya tidak sepenuhnya sendiri disini ..“

Keesokan paginya, saya langsung diantar ke rumah kos. Tempat ini adalah rekomendasi dari seoarang adik angkatan yang juga pernah belajar di IALF .. (thanks Dian F). Dituntun melalui pembicaraan telepon, kami pun menemukan tempat itu. Jaraknya hanya sekitar 80 meter dari lokasi belajarku. Lokasi disekitar situ memang banyak bisa di temui tempat kos. Setiap tahunnya, para penerima beasiswa ADS harus melewati proses ‘pemeraman’ sebelum kemudian diberangkatkan.

Seminggu berada di tempat kos ini, aku sudah menemukan kenyamanannya. Keluarga pemilik kos ini begitu baik dan peduli. Disini, kami para penghuni kos memperoleh akses penuh ke dapur keluarga. Kita boleh menggunakan gelas dan piring serta air panas yang ada disitu. Tentu saja harus bertanggung jawab atas penggunannya. Jadi, aku tidak perlu lagi membeli dispenser untuk memenuhi hasrat minum kopi tiap harinya.

*****

Di IALF sendiri, setiap harinya proses belajar berlangsung selama 4-6 jam. Materinya masih yang ‘ringan-ringan’. Misalnya saja, mengenal-kata-kata yang kerap hadir dalam kegiatan akademik di luar negeri sana. Berikut juga, tentang menulis paragraf yang sistematis dan beralur pikir. Model kalimat-kalimat induktif, serta bagaimana menyambung-nyambung gagasan dalam wadah tulisan ilmiah yang sederhana. Tapi sekali lagi, ini baru awal, jadi masih terkesan sangat mudah untuk di lalui. Begitu pun dengan tugas-tugas dan homework yang diberikan. Semuanya masih dalam level ‘kacangan’.

Mark, wali kelas kami untuk 4 bulan ke depan ini, memang sudah mewanti-wanti bahwa barisan tugas berat baru akan hadir dalam 3 bulan ke depan. Saat itu, katanya, setiap pekannya kita akan dijejali dengan membuat discussion paper sebanyak 2.500 -3.000 kata. Dan untuk saat ini, kita baru dalam tahap pemantapan gramatikal dan memperbanyak koleksi vocabulary sebagai persiapan utuk penulisan ilmiah. (Itulah mengapa saat ini saya masih bisa meng-update status FB, menulis penggalan-pengalan cerita di blog, serta berjalan-jalan ke sejumlah tempat .. Hahahahah)

Sejauh ini, segalanya memang masih terasa menyenangkan. Pertama, mungkin karena materinya mayoritas pengulangan dari banyak hal yang sudah pernah kudapatkan. Kedua, mungkin karena ‘Bagaimana Proses belajar itu diberikan’ … Yuupss, jujur saja, saya sedikitpun belum menemui kejengahan saat berada di ruang kelas. Mark, mengajar kami dengan begitu atraktif. Metodenya tidak membuat bosan ataupun ngantuk. Dia seperti punya banyak cara untuk menghadirkan diskusi yang ceria. Games-games ringan setiap satu jam pelajaran juga menghadirkan variasi-variasi yang seru. Sama sekali tidak ada ketakutan untuk mengeksplorasi diri. Dia bisa memancing kita berbicara, seberantakan apapun kualitas speaking kita. Oh iya, pria asal Bristol (Inggris) ini juga ternyata seorang gila bola dan pecinta Manchester United. Dalam beberapa kesempatan, dia memulai kuliah dengan berbagi cerita tentang pertandingan MU. Kalau sudah seperti ini, sayapun hadir sebagai ‘lawan setimpal’ bagi dia . . Hahahahaha …
Selain itu, kami juga diberikan pembekalan tentang Information Literacy, yaitu bagaimana memanfaatkan sumber-sumber informasi di Internet untuk kebutuhan pendidikan. Tak lupa juga dengan sistematika pencarian informasi buku di perpustakaan menurut standar Internasional. Ternyata, perpustakaan disini, sudah menggunakan standar itu. Jadi, kita mesti tahu cara-nya.

Memang, Self Study, atau metode belajar sendiri, sangat di dorong di tempat ini. Materi pembelajaran yang ‘hanya 6 jam’ dikelas sangatlah tidak cukup. Para siswa mesti di dorong untuk belajar secara independen. Dan salah satu jalan untuk itu ialah dengan menyediakan ruang-ruang serta akses untuk itu. Bahkan, disini kita mesti log-in dengan account sendiri jika ingin menggunakan komputer. Jadi, setiap aktifitas penggunaan komputer dan internet yang kita lakukan akan terpantau. Dan mungkin akan ada pertanggung jawaban atas itu … (Hancur ma saya. Satu minggu ini, halaman FB jie yang paling sering ku buka).

Hari jumat kemarin, menjelas akhir pekan, kami melakukan ‘Self Consultation’ dengan pihak IALF. Disini, mereka diwakili oleh Mark sendiri, sebagai pengajar kami. Satu-persatu, kami masuk ke ruang kelas untuk ditanyai berbagai hal. Setiap kami, di tanyakan tentang kehidupan kami di Bali setelah seminggu ini dan apakah kami sudah mendapatkan semua hal yang kami inginkan. Berikut juga tentang kehidupan akademik selama di IALF. Berdasarkan score IELTS yang dulu kami peroleh, orientasi pembelajaran kami akan ditentukan. Mana yang perlu di permantap (begitu singkatnya). Oh iya, kehidupan keluarga kami juga menjadi hal yang ingin mereka ketahui . . . . Layaknya dokter, mereka seperti ingin tahu treatmen apa yang mesti diberikan pada setiap kami secara spesifik .. . .

*****

Senin, 25 April 2011

Sedikit Untuk di Bagi . . . . '1st Day'

07.45 Wita ternyata masih terlalu pagi, setidaknya untuk mereka yang berada di kantor itu. Belum banyak aktivitas terjadi saat saya tiba disana. IALF, sejatinya memang baru beroperasi pada pukul 08.00 pagi. Kehadiranku pun seperti prematur bagi mereka. Tapi untunglah ibu recepsionisnya tetap ramah menyambut (meski dia masih sibuk bergelut dengan make up). Dia pun tahu kalau saya adalah peserta kelas baru di tempat itu untuk 6 bulan ke depan nanti. Usai bercakap-cakap ringan, dia meminta saya untuk menunggu rekan-rekan saya yang lain di kursi tamu.



Beberapa waktu berselang, satu demi satu dari para peserta kursus 6 bulan itu memunculkan diri. Beberapa dari mereka langsung mencuri perhatianku karena kami bersama-sama menjalani test di Makassar beberapa bulan silam . . Ahahaha . . Untuk yang 6 bulan ini, ternyata ada 4 orang yang lolos di wilayah test Makassar.




***



Hari pertama kami di IALF Denpasar diisi dengan Welcome Ceremony oleh pimpinan dan staf setempat. Jumlah mereka yang menyambut kami saat itu, ada sekitar 7 orang, dan hanya seorang diantaranya yang berwajah Indonesia. Seperti biasa, sambutan ringan menjadi agenda pertama. Ibu Caroline, yang menjabat sebagai manajer program, sukses mengubah mindset kami tentang '6 bulan di Bali ini'. " ..You are here as a student, not a tourist. So, you better to prepare yourself for a work hard " . Kalimat ini, dan kalimat yang se ide dengan ini, berulang-ulang kali dia tekankan. Bagi saya, ucapan Caroline ini mempertegas apa yang di ceritakan oleh ibu Kost-ku semalam sebelumnya. " Disini ya, dek, anak-anak IALF itu jarang ada yang cepat tidur. Biasanya mereka kerja tugas sampe larut malam. Kertas-kertas kerjanya bahkan sampai ke sini " Katanya sambil menunjuk teras depan kamar-ku . . . . Sayapun cuman bisa menarik nafas dalam-dalam, sembari memperbaiki niat dan meyakinkan bahwa ini memang jalan yang sudah kupilih . . Hufffffhhh . .



Usai Ibu Caroline, kami berkesempatan untuk menikmati hidangan kue selamat datang yang sudah menanti diluar ruangan. Kami, para peserta boleh ngobrol lepas dengan para staff bule tersebut. Oh iya, dalam keadaan seperti ini, mereka (para bule itu) akan menyapa siapa saja dan mengakrabi para peserta. Mereka tentu ingin membuat kami merasa lebih lepas selama belajr disini. Jangan coba-coba terlihat sendiri, salah satu dari mereka pasti akan menghampiri dan mengajak ngobrol. Jadi, kau harus siap. Pengalaman itu kualami tadi pagi. Saat masih bingung sendirian untuk memilih kue, tiba-tiba Ibu Caroline menyapa halus. Sejumlah pertanyaan dasarpun mengalir ke saya. Dengan sedikit gugup (karena kaget), saya melayani dan menjawab seperlunya . . . . . (kesan pertama yang saya anggap gagal ).



Setelah selesai berurusan dengan penganan, briefing berlanjut. Kali ini lebih ke masalah teknis. Pemaparannya dilakukan oleh oleh Ibu Chendra, satu-satunya orang Indonesia yang tadinya ada di barisan staff tersebut. Oh iya, ada juga Pak Purya, petugas keamanan IALF. Oleh bu Chendra, kita diberitahu perihal jadwal dan hal-hal yang berkaitan dengan akademik IALF. Begitu juga tentang fasilitas dan akses yang bisa kita dapatkan, sertagambaran umum program belajar selama 6 bulan ke depan. Satu hal yang paling menyenangkan dari pemaparan ibu Chendra adalah, bahwa setiap sabtu, IALF mempunyai jadwal olahraga rutin, yaitu Bulutangkis dan Futsal . . Weehhhh . . . Berarti hobi akan tetap berlanjut ditempat ini . . . . Hahahahaha (sayang, sepatu Futsal masih ketinggalan di rumah di Makassar, dan Raket kesayangan masih terselip di atas lemari RAMSIS) . . .



. . . Pengalaman hari ini kemudian berlanjut dengan Tour Kampus. Kami diajak berkeliling ke sejumlah ruang kelas yang nantnya akan kami pergunakan. Begitupula dengan sejumlah fasilitas yang menjadi hak kami, seperti laboratorium audio visual serta perpustakaan (Disini disebut RC atau Recource Center) . . Di perpustakaannya, banyak sekali terdapat media-media pelatihan untuk meningkatkan kemampuan IELTS kita. Saya pun tak lagi menyesali tumpukan buku latihan yang terlupa di Makassar. Tooh disini semuanya serba lengkap. Pada saat itu, kartu akses perpustakaan langsung dibagikan ke semua kita. yeeeaaahhhhh. . . . Saat kami berkinjung tadi, perpustakaan terlihat banyak orang bule. Entah tujuan mereka apa. Mungkin mereka orang dari negara-negara Non-English yang juga tengah belajar disitu .. Setiap siswa IALF juga mendapat account email IALF. Account ini nantinya akan menjadi sarana persebaran dan pertukaran info diantara kami, berikut juga dengan para staf pengajar . . .




Hmm, Kelas pertama sudah dimulai tadi, setelah sebelumnya kami dibagi dua grup berdasarkan background pendidikan. Ya, antara Sains dan Sosial. Jumlahnya berimbang dan kami belajar di kelas yang berbeda. Untuk kami yang di Sosial, pengajarnya (wali kelasnya) adalah Mark Hidge, seorang Inggris yang ramah dan menyenangkan (setidaknya di pertemuan pertama tadi). Proses belajar belum dimulai secara serius. Kami sebatas berkenalan dengan metode yang unik ala Mark. Materi pembelajaran yang diberikan hanyalah penguasaan sejumlah kata (vocabulary) yang berkenaan dengan lingkungan Akademik .



Hari ini, belum ada PR untuk dibawa pulang . . " I dont give you any homework for today, because I know, you must be busy to settle in here.." Katanya menghibur . . Mark benar, kami masih perlu waktu untuk membenahi tempat tinggal kami, termasuk saya yang masih harus membeli gantungan baju di Ramayana dekat rumah . . .