Minggu, 09 Oktober 2011

Mutant



X Man 1st Class … Pada babakan akhir film itu, para Mutant harus membuat pilihan tegas. Mengikuti Magneto, atau tetap tinggal dengan Alex.

Mereka terbelah. Ada yang tinggal, dan sebagiannya lagi memenuhi ajakan Magneto. Termasuk diantaranya adalah Raven, seorang mutant yang sejatinya adalah sahabat Alex sedari kecil. Bagi Raven, ini bukan persoalan meninggalkan seorang sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Ini persoalan pandangan hidup, perihal eksistensi mereka ditengah manusia awam. Raven, selama ini mungkin terusik pada kenyataan bahwa mereka, yang memiliki kelebihan dibanding manusia lain, mesti senantiasa menyembunyikan apa yang menjadi perbedaan itu agar tak terlalu tampak secara kasat bagi orang ‘normal’. Dia harus menyembunyikan bentuk asli-nya, yang berbeda dari manusia lain.

Setidaknya seperti itu permintaan Alex semenjak pertama mereka bertemu. Bagi seorang Alex, mutant yang meraih gelar professor di bidang mutasi genetis, manusia biasa belum fasih terhadap perubahan gen yang dia dan kawan-kawannya alami. Akan ada kegoncangan besar jika para mutan seperti Raven, yang bertubuh biru dan bersisik, tiba-tiba muncul di tengah orang normal. Untuk itu, bagi Alex, para mutant sebaiknya berlaku biasa saja, selayaknya manusia lain. Tak perlu menunjukkan perbedaan ataupun talenta yang mereka miliki dan Jangan terlalu mencolok !!!

Sementara Magneto, hadir dengan kegundahan yang sejalan dengan Raven. Kenapa mereka mesti terlihat seragam dengan manusia kebanyakan? Apa yang salah dengan perbedaan yang mereka miliki? Bagi Magneto, Membiarkan adanya tekanan untuk sama seperti yang manusia-manusia lain, adalah pembelengguan terhadap talenta serta potensi yang mereka miliki. Mereka terlarang untuk menjadi ‘dirinya yang berbeda’ karena itu tidak sesuai dengan alam pikir mayoritas yang ada saat itu. “Itu adalah kesalahan Besar !!” begitu mungkin pikir Magneto.

Dan di Pantai itu, mereka terbelah. Perseteruan dua kubu Mutant pun bermula . . . .

***

Imaji hiperbolis tentang Mutasi Genetik memang mendapat ruang kampanye yang menarik lewat deretan film X-Man, termasuk sekuel X-Man 1st Class yang baru usai kulahap. Dan sejauh ini, sejauh yang aku ketahui, manusia masih terlahir ‘normal’. Belum ada ‘manusia berbeda’ yang hadir sebagai buah dari perubahan genetis di tubuhnya. Belum ada berita tentang seorang yang bisa memunculkan api dari jentikkan jemari tangannya, atau seorang yang bisa merubah bentuk sesuai dengan keinginannya. Perubahan itu memang ada, namun dalam taraf yang sedemikian kecil.

Tapi sebagian kita mungkin bisa menyanggah dan berujang jika ‘orang-orang yang berbeda itu’ sudah hadir diantara manusia, dan kita mungkin juga sudah mengenal mereka. Bentuk dan ‘kelebihan’ mereka memang tidak se-ekstrim Raven,ataupun Magneto. Tapi mereka punya secuil kesamaan : mereka berbeda, dan mau berbeda dari manusia kebanyakan. Mereka ini, juga adalah orang-orang begitu sadar akan potensi yang ada dalam diri mereka, dan berani tampil untuk memaksimalkan segenap potensi itu meski harus terlihat berbeda dari yang lain. Dan karena hal itu pula, mereka akhirnya menjadi ‘berbeda’ dari orang-orang kebanyakan.

Adagium klasik tentang kehidupan berujar bahwa setiap individu memiliki talenta besar dalam dirinya. Potensi itu, berebeda antara satu dengan lain. Ada ke unikan-an dalam setiap kita. Hanya saja, kehidupan, dengan segenap sistem nilai dan kemapanan yang dibuat oleh manusia, terkadang --atau bahkan sering—menjadi penghalang bagi setiap manusia untuk menyadari keberadaan potensi diri itu. Manusia, cenderung gagal untuk menemukan ‘dirinya’ di tengah desakan dari lingkungan sekitarnya. Adapula yang bisa menyadari potensi-nya namun kemudian harus tunduk dan bertekuk lutut pada suara kebanyakan.

Kita, di hari ini, tengah hidup di sebuah dunia yang terbentuk dari deretan panjang kemapanan sosial. Tentang bagaimana kita hidup, dan juga bagaimana supaya kehidupan kita menjadi lebih baik. Pemahaman itu, tampak seragam di kepala sebagian besar manusia. Salah satu dari pemahaman itu mungkin seperti ini : “Semakin Tinggi sekolah maka Semakin hebat-lah dirimu. Dan berhenti sekolah adalah keruntuhan bagi masa depanmu” . Itu konsepsi umum yang dipercaya kukuh oleh banyak orang .. Tetapi tidak bagi sebagian kecil orang. Sebut saja bagi seorang bernama Steve Jobs, pendiri Apple Coorporation yang baru saja meninggal beberapa hari lalu. Sekolah setinggi-tingginya mungkin bukan pilihan tepat yang bisa membentuk masa depan bagi Jobs di masa muda. Dia memilih untuk meninggalkan bangku kuliah, meski itu membuatnya dinilai ‘tak wajar’ oleh lingkungan sekitar. Dia menepi dari system nilai yang dianut oleh masyarakat banyak, dan dengan sadar, berfokus untuk mengembangkan potensi dirinya. Mungkin saja, ada cemooh dan celoteh yang tidak nyaman bagi keputusan Jobs kala itu. Tapi, setelah apa yang diperolehnya di hari-hari ini, siapa kira-kira yang masih mau mencemooh Jobs ??

Steve Jobs tidak sendiri. Ada banyak ‘orang besar’ lain yang sukses ‘bermutasi’ karena berani menerobos kemapanan nilai-nilai social yang ada di masyarakat. Kita juga mengenal seorang bernama Mark Zuckeberg, pendiri Facebook, yang dulu terasing dari lingkup sosialnya di kampus ternama, Harvard University. Jarang memunculkan diri di kegiatan kampus, dia memilih menjadi penyendiri. Tapi itu bukan kesendirian yang kosong. Di kamar, dia ‘bermain-main’ dengan segenap potensinya hingga akhirnya sukses mengkreasi sebuah situs jejaring sosial terbesar yang pernah ada. Saya tidak tahu, apakah Magneto dahulu pernah bertemu dengan Jobs ataupun Zuckeberg dan menasehati mereka untuk mengembangkan apa yang ada dalam dirinya secara total, serta tidak takut untuk mengembil jalan ‘berbeda’ dari yang lain.
Jobs dan Zucke memang bukan anggota kelompok imajinatif, X-Man. Tapi, cerita tentang orang-orang besar seperti mereka, mungkin bisa sedikit membuka ruang berpikir bagi kita, bahwa setiap manusia punya potensi untuk ‘bermutasi’. Bukan secara fisik, tentunya, tapi secara mental. Semua diawali dengan menyadari potensi terbesar yang ada dalam diri, dan kemudian mengambil sikap berani ‘berbeda’ dari orang kebanyakan. Untuk poin yang terakhir ini, kita mengenalnya dalam kata ‘kreatifitas’. ‘Jangan pernah takut untuk berbeda’, kata itu cukup sering keluar dari mulut para pesohor jika ditanya tentang apa rahasia sukses mereka.

Dalam ‘buku pengembangan diri’ (yang semasa saya kuliah dulu disebut ‘buku Kompa-Kompa’) kerap disebutkan bahwa kita harus bisa mengambil jalan berbeda untuk bisa menjadi ‘lebih’ dari manusia kebanyakan. Hukum logika juga mungkin sejalan dengan itu: ‘Jangan berharap hasil yang berbeda jika kau melakukan sesuatu dengan jalan yang sama’. ‘Mutasi’ mental dari orang-orang seperti Zucke dan Jobs juga bersandar dari pemahaman ini, mungkin.

***

Oh iya, semasa SMA dulu, wali kelas kami, yang kebetulan guru Bahasa Ingggris, menganjurkan agar kami untuk terus melatih diri dengan bercakap-cakap Inggris meski diluar jam pelajarannya, termasuk saat jam isirahat. Tentu saja, kami segan mengikuti anjuran itu, “Ah, malu Bu. Nanti kita dianggap sok sama teman-teman dari kelas yang lain” ujar kami beralasan ….

dari situ jelas sekali, kami takut dianggap berbeda. Dan akhirnya tidak pernah menjadi 'sesuatu' ..

Kami, bukan pengikut Magneto, tentunya …