Jumat, 04 Maret 2011

Sahabat dan Kekuatan


September, 1939. Istana Buckingham – London.

Para petinggi kerajaan Inggris Raya beserta sejumlah pejabat penting negara sudah hadir di tempat itu. Sekalipun ramai, tak banyak suara yang berseliweran. Semuanya senyap dan serba berbisik. Semua tampak tegang dan tak tenang. Mereka menunggu gelisah, apa yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

Ketegangan itu, mungkin, tak hanya mereka. Di luar sana jutaan, penduduk Inggris pun tengah hidup dalam dekapan kecemasan yang lirih. Negara mereka, sebagaimana Negara Eropa lain di kala itu, tengah diambang perang besar. Jerman, dibawah kendali NAZI, secara sepihak mengkooptasi beberapa Negara tetangganya. Mulai dari Cekoslovakia dan kemudian bergerak ke Polandia. Invasi ke Polandia itu yang kontan membuat marah Kerajaan Inggris. Ultimatum mereka agar Jerman menarik armada militernya hanya dianggap angin lalu pemimpin Jerman, Adolf Hitler. Dia itu kukuh dengan dengan keputusannya. Malahan, Hitler balik mengancam. Kalau Inggris tidak setuju dengan tindakan aneksasi itu, maka Inggris juga akan diperangi.

. . . Dan hari itu, seluruh kerajaan akan mendengarkan jawaban dari Kerajaan terkait pilihan yang sodorkan Hitler. ‘Menyetujui atau Berperang’ . . .

Hanya saja, ada kecemasan lain di Istana Buckingham kala itu. Ini bukan tentang persoalan perang yang sesaat lagi akan di umumkan. Tapi ini tentang Raja mereka, yang sebentar lagi akan menyampaikan jawaban itu. Dia, Raja Geoge IV, yang baru saja mendapat limpahan tahta dari saudaranya, Pangeran Edward, adalah seorang yang memiliki masalah dalam kemampuan berbicara. Dia, Gagap . . . . . !!!

Sulit membayangkan, jika seorang Raja mesti membangkitkan semangat perang dan perlawanan pada seluruh rakyatnya dengan cara yang terbata-bata, berulang-ulang dan tak lancar. Bahasa panggilan perang adalah bahasa ketegasan, bahasa kemarahan, dengan tangan yang menghentak tegak ke atas, dan suara yang melengking keras. Lancar, serta tak surut berputus. Hanya saja, dalam jejak perjalanannya, Raja George VI tidak memiliki hal ini.

. . . Dan di hari itu, semua kecemasan dan ketegangan di istana Buckingham berharap agar Sang Raja bisa tampil dengan dirinya yang lain.

****

Raja George IV atau Albert Frederick Arthur George, memang tumbuh dengan dua hal yang dianggap ganjil bagi lingkar keluarga Istana. Pertama, dia adalah seorang kidal yang kemudian dipaksa untuk membiasakan diri dengan tangan kanannya. Beraktifitas dengan tangan kiri memang tak lazim bagi kalangan Istana yang memiliki deretan panjang tentang tata aturan hidup. Kedua, semenjak usia 4 tahun, dia mengidap disfungsi kemampuan berbicara (anartharia literalis). Hal ini ditandai dengan kegagalan mengucapkan sesuatu, terbata-bata, dan pengulangan terhadap beberapa suku kata awal yang akan di ucapkan.

Saat belum dinobatkan sebagai seorang Raja, Bertie (nama kecilnya), pernah ‘mempermalukan’ dirinya ketika harus memberikan sambutan pada penutupan pameran kerajaan Inggris Raya di Stadion Wembley. Dia gagal berpidato karena tak sepatah kata pun yang bisa keluar dari mulutnya. Ribuan penonton yang hadir di Wembley saat itu hanya terdiam dan termangu, hingga Bertie memutuskan untuk meninggalkan podium dengan rasa malu yang amat sangat.

Beragam upaya dilakukan untuk membentuk kemampaun berbicara Bertie. Biar bagaimanapun, dia adalah pangeran kerajaan Inggris, putra kedua dari Raja George V yang tengah berkuasa. Akan ada waktu dimana dia mesti hadir di depan umum dan berbicara ke khalayak ramai. Terlebih bagi Sang Ayah, Bertie adalah sosok andalan dibanding putranya yang lain, pangeran Edward. Walau memiliki kendala motorik dalam berbicara, sesungguhnya sang ayah menganggap Bertie lebih layak untuk menjadi pewaris tahta dibanding Pangeran Edward, sang kakak. Dia lebih aristoktrat dan taat nilai secara perilaku. Sementara Sang Kakak, yang justru pewaris utama tahta, adalah seorang glamour yang senang pesta. Pangeran Edward juga diketahui tengah menjalin hubungan dengan seorang janda, status yang tidak boleh dinikahi oleh seorang pewaris tahta Inggris.

Deretan upaya dengan berbagai nama sudah mencoba untuk memperbaiki kemampuan berbicara Bertie. Namun tak ada satupun yang mampu mengubah kondisinya. Tak ayal, Bertie menjadi jengah dan berputus asa.

Hingga kemudian Lionel Logue, seorang therapis asal Australia, hadir. Logue, yang baru berpindah ke Inggris, datang dengan cara yang berbeda.

Pendekatan therapi-nya bukan hanya dari aspek motorik semata. Tidak Cuma melatih pernapasan dan gerak mulut, dia juga mencoba masuk lebih dalam ke jiwa seorang Bertie, Pengeran Kerajaan Inggris. Logue, memulai semuanya dengan memotong sekat-sekat aristokrasi yang sebenarnya di pegang teguh oleh sang pasien. Dia menolak memanggil pasiennya dengan sebutan kebesaran-nya, sebagaimana yang dilakukan para theraphis sebelum dia. Cukup dengan ‘Bertie’ nama kecilnya, dan bukan dengan kata ‘Pangeran’. Dia, mencoba menempatkan mereka sebagai sesuatu yang sejajar dan hadir sebagai seorang sahabat.

Pada awalnya, pendekatan ini terlihat lancang bagi seorang Bertie. Ada yang janggal. Seorang yang datang dari benua lain di sudut dunia sana begitu berani membuatnya marah. Logue, bahkan tak segan menyinggung kemungkinan bagi Bertie untuk menggantikan posisi Kakaknya sebagai penerima tahta kelak. Hubungan Edward dengan seorang janda memang sudah di ketahui, apalagi oleh Logue. Namun Bertie sadar benar akan kelemahannya. Makanya, dia tak pernah berniat untuk menggeser posisi Sang Kakak, meski dia sendiri banyak tak bersepakat dengan perilaku Pangeran Edward. Dia, masih disekap oleh masa lalu, pengalaman buruk saat harus tampil gagal di depan orang banyak. Dan ini, akan menjadi keharusan jikalau dia nanti benar menjadi raja.

. . . . . Sayang, takdirnya sudah ditentukan. Bertie harus naik sebagai pemegang tahta. Sang Kakak, yang sudah di lantik menjadi Raja Inggris sebelumnya, memutuskan mundur dari tahta. Dia lebih memilih menikahi janda, Wallis Simpson. Dan ini adalah pernikahan terlarang bagi seorang Raja Inggris.

Sebagai garis penerus terdekat, Bertie mesti naik ke singgasana. Jadilah dia nobatkan sebagai Raja Inggris dengan nama Raja George VI.

Pentasbihan itu praktis membuat Bertie harus mengalahkan kelemahannya. Posisinya sebagai Raja, mensyaratkan dia mesti banyak hadir di depan publik. Dan Lionel Logue, sang therapist, mesti lebih keras bergulat untuk membantu Raja George VI.
Bagi Logue, masalah yang tengah dihadapi Bertie lebih pada pada dimensi psikologis. Kelemahannya dalam berbicara, selama ini terpelihara justru karena kondisi lingkungannya yang ‘terlalu serius’. Deretan panjang aturan dan formalitas kerajaan membuat Bertie sulit untuk mengekspresikan diri. Ironis memang kalau dengan status sebagai petinggi kerajaan, Bertie memiliki lebih banyak ‘hal yang tak boleh dilakukan’ ketimbang ‘hal yang boleh dilakukan’. Jadinya, dia kehilangan terlalu banyak ruang dalam kehidupannya.

Lingkup kerajaan juga menyimpan tuntutan besar untuk menjadi sempurna. Dongeng tentang pangeran dan dan raja yang ada selama ini, adalah penggambaran perihal sosok yang hebat di banyak hal, termasuk dalam berorasi. Dan ketika seorang hadir dengan sebuah kelemahan, maka dia akan terpinggirkan. Bertie kecil, sempat mengalami ini.

Untuk itulah Logue merasa perlu untuk hadir dalam suasana lepas. Jauh dari kesan formal dan masuk lebih intim dalam kehidupan Bertie, Sang Raja. Dia ingin menjadi sosok sahabat yang setara. Dia juga ingin memberi ruang lapang bagi Bertie. Ruang yang nyaman, tanpa balutan formalitas ala kerajaan. Singkat kata, Logue memutus jarak yang selama ini hadir diantara Bertie dan para therapist-nya . . . Dan dia menjadi sahabat bagi Bertie

***

‘Kehadiran seorang sahabat’ serta ‘ruang yang lepas’. Itulah yang disediakan oleh Logue saat Bertie, atau Raja George VI, akan memberikan pidato kerajaan di Istana Buckingham pada September 1939 itu. Dia turut hadir di ruangan kecil yang menjadi studio siaran. Dia juga menyulap interior ruangan tersebut supaya lebih ‘nyaman’ dan tak berkesan formal bagi ‘sahabatnya’, Raja George VI. Tak lupa, dia memberikan, kepercayaan diri, ketenangan, serta meyakinkan Sang Raja bahwa ada ‘seorang sahabat’ yang akan menemaninya melewati menit-menit yang berat ini.

. . dan pada hari itu, Mereka berhasil.

Raja George VI sukses membacarakan maklumat ke seantero jagad tanpa masalah berarti. Kata-katanya terurai lancar dan jelas, walaupun itu berarti bahwa Kerajaan Inggris akan terlibat dalam Perang Dunia II, perang terbesar yang pernah terjadi di muka bumi ini . . . . . . . .

Bagi Raja George VI (Bertie), Lionel Logue sudah membawa perbedaan bagi dirinya. Seseorang yang datang dari penjuru dunia lain, sukses membawanya keluar dari dekapan masa lalu yang kelam, dan ketakutan akut akan ‘berbicara’. Logue memang berbeda, berbeda dari barisan mereka yang pernah mencoba menyembuhkan dia sebelumnya.

‘Pendekatan seorang sahabat’ yang semula asing baginya, telah mampu mengubah banyak hal. Memang, untuk menjadi berbeda dari sebelumnya, kita harus mau menjalani hal yang berbeda pula . . . dan mungkin hidup bersama orang yang berbeda .. ^_^

Semenjak itu, Raja George VI semakin dekat dengan Logue. Dalam sejarah di sebutkan bahwa Logue terus mendampingi Sang Raja di setiap pidato yang dilakukannya. Terutama di masa-masa sulit itu, saat Inggris dilanda perang besar melawan Jerman.
Gambaran tentang seorang yang tak mampu berbicara, semenjak peristiwa di Wembley silam, perlahan mulai terkikis dari diri Raja George VI. Seorang sahabat telah sukses menuntunnya keluar dari bayangan kecemasan masa silam. Sebuah tragedi memalukan yang menyelimutinya dengan ketakutan.

Yupp . . . Terkadang, kita memang membutuhkan sosok seorang sahabat untuk menaklukkan ketakutan dalam diri kita . . . . . .

Dari Film : KING's SPEECH

** Dalam catatan sejarah, selama perang dunia ke II yang di maklumatkannya itu, Raja George VI tidak pernah meninggalkan Kota London yang terus di bombardir oleh Angkatan udara Jerman (Lufftwaffe) meski dewan kerajaan (demi keselamatan sang Raja) terus memintanya untuk itu. Dia justru terlihat lebih sering turun ke tengah shelter-shelter perlindungan serangan udara untuk menjaga semangat dan moril penduduknya. Hingga kemudian saat perang berakhir dengan kekalahan Jerman, ratusan ribu penduduk London yang memadati jalan raya, meminta Raja George VI untuk mengumumkan berita itu. Padahal, Perdana Menteri inggris, Winston Churchill sudah bersiap untuk melakukannya . . .