Jumat, 19 Maret 2010

Di Taman itu . . .



Di taman itu, aku pertama kali MELIHATNYA. Duduk menyendiri diatas sebuah kursi panjang dari kayu yang kian lapuk dan bercat tak jelas lagi. Matanya menatap kosong ke depan mengimbangi raganya yang diam. Sesekali tangan kanannya bergerak menuju rambutnya yang panjang terurai. Mengambil sejumput diantaranya, lalu memutar-mutarkan dengan jari telunjuk. Napasnya kerap terlihat tak beraturan. Seakan ada tumpukan masalah yang tengah menjamahnya. Tapi,.... tak pasti begitu. Karena ternyata dia masih bisa tersenyum. Entah tersenyum untuk siapa dan karena apa. Sesaat kemudian dia meraih sesuatu dari kantung tas punggungnya. Sebuah notes kecil yang tengah bersanding akrab dengan pulpen warna jingga. Ada sesuatu yang kemudian dia goreskan. Tak cukup lama hingga benda-benda itu diletakkan di sisi tubuhnya, diatas kursi yang tengah ditempatinya itu.


Di taman itu, aku pertama kali MENYAPANYA. Saat notes kecil yang sedari tadi tergeletak di sisinya terjatuh melalui sela-sela kursi. Hanya pulpen jingga itu yang kemudian tertinggal. Tapi dia tak menyadari, sampai kemudian aku datang memberitakannya. " maaf....notes-mu terjatuh". Begitu ujarku, sembari mempersembahkan senyuman terbaik yang kumiliki di sore itu. Kalimat itu cukup pendek untuk menghentakkannya, dan membuatnya balas memberi senyuman. Dengan gerakan yang agak kikuk, dia kemudian berupaya menggapai notes itu. Jelas terlihat kalau dia belum sepenuhnya siap dengan keadaan itu. Saat kesendiriannya tiba-tiba berganti dengan kedatanganku, seorang yang masih asing bagi imajinasinya......


Di taman itu, aku pertama kali MENGENALNYA. Ketika aku memberanikan diri untuk meminta sedikit ruang di kursi panjang itu. "boleh saya duduk disini..?" tanyaku. Dia hanya mengguk pelan, tanpa mengeluarkan sebaris kata. Tingkahnya makin tak beraturan saat kemudian aku duduk disampingnya dan mulai membuka buku yang sedari tadi kugenggam. 20-30 detik berlalu sudah kami duduk ber-sisian tanpa saling bertegur kata. Aku bergelut dengan buku, tapi sesungguhnya pikiranku tak tak berpijak disitu. Buku itu kubuka lembaran demi lembaran tanpa secuil keseriusan. Karena sesungguhnya, pikiranku tertumpah ke dirinya yang sedari tadi terlihat gelisah. Kami masih terus kukuh dalam ke-diaman yang abstrak. Seperti dua musuh yang tengah bersembunyi di benteng masing-masing dengan senjata yang sudah terkokang. Siap menyalak apabila dipicu oleh aksi yang lain......Sungguh, ini kondisi yang tak baik. Maka akupun mulai berinisiatif memancing reaksinya.

" Sudah sering datang ke taman ini ..? ". Tanyaku.

Dia diam sekilas dan menjawab lirih, "Hmm, tidak juga. Ini baru kali yang kedua".

Tanganku langsung kuulurkan sesaat setelah kalimatnya tadi berakhir, dan memperkenalkan nama. Dia menyambut dengan hangat seraya menyebut pula satu kata. Dan kupastikan, kata itulah yang merupakan namanya. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya pun saling mengalir diantara kami. Mulai dari yang sepele semacam data demografis masing-masing, hingga menjalar jauh ke hobi dan kebiasaan. Dari titik itu, aku pun mulai mengenalinya...


Di taman itu, aku pertama kali MENYUKAINYA. Dengan senyuman yang tak berhenti merekah dari garis kecil di sepanjang bibir mungilnya, dia mulai membuka ruang-ruang dalam dirinya yang lebih luas untuk kujelajahi. Naluri keingintahuanku tentang dia, seolah menemukan 'seorang guide' yang maha tahu dan baik hati. Menuntunku menelisik labirin yang beberapa detik sebelumnya begitu asing bak hutan rimba yang belum terjamah. Apalagi, semakin banyak dia bertutur, semakin banyak pula kesamaan yang bisa dipersandingkan antara dia dan aku. Ibarat jembatan kayu yang menghubungkan dua buah tebing curam, yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Topik-topik yang tergelar pun semakin beragam. Di saat-saat itu, kami sudah bisa tertawa bersama, sebagaimana juga kami sudah bisa merasa prihatin bersama.


Di taman itu, aku pertama kali MERASA JENGAH. Saat dia mulai membicarakan seseorang yang tengah menjadi kekasihnya. Menceritakan betapa hebatnya laki-laki itu beserta hal-hal baik yang dimilikinya. Bagaimana dia benar-benar diperlakukan sebagaimana wanita seutuhnya, yang berhak atas sebentuk cinta dan sederet pengorbanan. Kemudian berlanjut dengan rancangan masa depan yang telah mereka gagas dan bangun perlahan. Dia menceritakan itu dengan senyuman yang tak pernah padam. Bahasa-bahasa melangit kerap terselip diantara tutur katanya seolah ingin menggambarkan kalau dia tidak sedang berpijak di bumi saat itu. Tapi terbang jauh meninggalkanku terpaku bisu kursi tua itu. Inilah ruang dalam dirinya yang tak bisa kumasuki. Sebuah ruang kolektif antara 'hanya dia dan orang yang dicintainya', dan tak sedikitpun menyediakan barisan kosong untuk ku isi. Sungguh, aku jengah hanya karena tak bisa ikut menimpali.....sampai kemudian telepon genggamnya berdering kencang, mengembalikannya menapaki bumi. Dari pembicaran yang tergerai, seseorang diseberang sana nampaknya tengah menantinya saat itu juga, disuatu tempat.

Maka diapun segera berpamitan padaku............berlalu,
namun tak lupa melambaikan tangan dari jauh

Di taman ini, aku pertama kali MENGERTI. Bahwa ada imaginasi yang kerap hadir terlalu cepat. Dia sontak membuncah bagai lahar dari perut gunung berapi yang tengah meletup-letup, tapi kemudian membeku dengan segera ketika bersinggungan dengan hawa dingin diluar sana.......

Di taman ini, aku pertama kali MENYENDIRI. Duduk di kursi kursi kayu tua panjang itu, mengisi ruang yang tadi ditempatinya. Saat itu, matahari mulai merayap turun, namun aku tak ingin segera beranjak. Memilih berdiam diri disitu dan berpikir banyak tentang mereka-mereka yang pernah singgah dalam imajiku. Mereka-reka ulang perjalanan hidupku sehari ini sembari menertawai apa yang layak untuk itu. Mengagumi beberapa diantaranya, dan menyesali sebagiannya lagi. Ada juga sekantung cerita menarik yang sayang untuk diabaikan, apalagi dilupakan. Makanya, segera kuabadikan dalam sebuah notes kecil yang terus setia tertinggal dalam kantung jaketku. Aku mulai mulai menggores di notes itu, tentang sebait kisahku di hari ini. Tak cukup panjang memang, tapi cukup untuk mengingatkan. Notes-notes kecil seperti ini memang bukanlah sebuah rekaman jejak utuh dari cerita kita yang begitu kompleks. Dia hanya menyediakan kode penting yang akan memanggil semua kenangan dalam pikiran di otak kita. Ya, karena disanalah semua peristiwa itu akan terekam utuh. Apalagi kalau itu 'bukan cerita biasa'.

Usai itu, notesku beserta pulpen-nya tak segera ku masukkan ke tempatnya semula, tapi kubiarkan saja tergeletak tepat disampingku. Yah, lalu mulai mengingat-ingat kisahku untuk hari ini. Mencoba menelusurinya detik demi detik dan membuatnya se-detail mungkin. Segenap pikiranku kukerahkan dengan mengendarai mesin waktu untuk menemukan penggalan cerita yang layak untuk ku abadikan pada 'kesendirian yang sempurna' itu. Pada detik-detik itu, aku benar-benar hilang. Mungkin hanya raga ini saja yang tertinggal. Hingga kemudian aku menafikan semua yang saat itu ada sekitarku. Dedadaunan yang berguguran dan memenuhi tanah disekitarku, sejumlah orang yang berlalu lalang tepat dihadapanku, serta matahari yang merah membulat di sebelah barat sana.

Di taman ini, aku pertama kali MELIHATNYA. Saat seorang perempuan tiba-tiba berdiri di sempingku seraya berujar " maaf,.... notes-mu terjatuh". Dia masih tetap berdiri disitu dengan wajah yang tersenyum, sembari tangannya menunjuk ke tanah melalui sela-sela kursi dimana notes ku tengah tergeletak. Kesadaranku belum sepenuhnya terpanggil saat itu. Antara terkajut dan tak siap dengan kehadiran wanita yang sekilas nampak anggun ini. Buntutnya, tingkahpun menjadi tidak beraturan. Dengan gerakan kikuk, aku mengambil kembali notes yang sudah bersimbah debu itu. Aku mulai bisa membayangkan seberapa dalam imajinasiku tadi sehingga tak menyadari sedikitpun kalau notes-ku sudah berpindah tempat ke bawah sana. Aku lalu mulai berpikir tentang perempuan ini. Apakah dia ada dalam barisan nama yang pernah kukenal
sebelumnya. Tapi kemudian aku mendapi bahwa dia adalah sosok yang baru, dan ini baru pertama aku melihatnya.

Di taman ini, aku pertama kali MENGENALNYA. Saat dia meminta separuh ruang di kursi itu untuk ditempatinya. Aku hanya tersenyum ringan, seraya mengangguk perlahan. Mengambil beberapa barang kecil milikku yang tadi kutaruh tepat disampingku, tempat yang akan dia duduki. Dia pun duduk disampingku dan mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas tangannya. Aku sendiri masih tetap duduk disitu dengan tingkah yang agak gelisah. Jujur, aku baru saja menikmati kesendirianku tadi sampai kemudian perempuan ini datang memecahnya. Tapi jujur juga, aku mulai menikmati kehadirannya yang tak jengah untuk dipandang. Hanya saja, sedari tadi kami terus terdiam, dan tak saling bertegur. Naluri kelaki-lakianku tiba-tiba membisik lirih untuk memulai menyapanya. Apalagi dia sudah berbuat baik tadi. Namun baru saja aku hendak melakukan itu tiba-tiba dia yang bersuara duluan

"... sudah sering kemari..?" tanya-nya

"...Hmm, tidak. ini baru kali pertama.." jawabku dengan sekilas melihat wajahnya.

sesaat kemudian, dia melanjutkan kata-katanya dengan menyebutkan namanya. Aku pun menyambut itu sebagai 'panggilan perkenalan' dan langsung ku tanggapi. Kamipun saling memberitahukan nama.

Mulai dari situ, obrolan panjang pun mengalir hebat diantara kami. Layaknya anak sungai yang baru dilepaskan dari bendungan, dan kemudian menumpahkan airnya dengan begitu deras dan tak tertahankan.


Namun tiba-tiba aku tersentak bahwa ada yang menarik dengan hari ini dan hadir begitu banyak....segera, kugengggam erat notes kecilku, tak akan kubiarkan terjatuh lagi. Sebab, kupastikan akan begitu banyak hal yang akan kutumpahkan nantinya. Yang pasti, bukan hanya tentang dua perempuan yang kutemui di taman pada sore hari ini. Tapi lebih jauh, ini tentang sebuah sore yang 'berkesan banyak'. Pada sebuah titik dimana aku mulai menyadari bahwa kehidupan kadang merupakan sebuah rotasi panjang yang berganti-ganti. Kita bisa memainkan peran didalamnya dan kemudian menggantikannya dengan peran lain. Pada saat yang sama, apa yang kita jalani dulu, akan diisi oleh yang lainnya... sebagaimana peran kita hari ini, detik ini. Mungkin saja itu adalah peran yang dijalankan oleh orang lain di masa lampau. Sementara tempat kita terdahulu, saat ini pasti telah diambil oleh orang lain. Tinggal menemukan kombinasinya saja . . .

Dan di notes kecil ku ini, semua akan ku rekam. . . . . . . . . .



* Saat kerjaan itu mulai menghilang dan 'otak' mulai bisa di pakai kembali.
Backsound 'Redundant-Greenday' : We're living in the repetition....content in the same old stick again....now the routine's turning to contention.....like a production line going over and over and over, roller coaster........Now I cannot speak, I lost my voice.........I'm speechless and redundant.......cause 'I Love you' is not enough....I'm lost for words.

0 komentar:

Posting Komentar