Jumat, 19 Maret 2010

. . . . In to the Depth Of Toraja I


Alhamdulillah ....... siang ini kami baru saja menuntaskan ibadah shalat jumat di masjid terbesar di kota ini, kota Makale. Tapi usai sholat, kami tak segera beranjak. Kami hanya duduk di dalam masjid sambil dari jauh memperhatikan para petugas masjid yang tengah menghitung uang hasil sumbangan umat. Terdengar sayup-sayup kalau mereka juga tengah membicarakan debat para Capres semalam. Kami hanya mendengar, tak ada niat untuk turut mengomentari.

Tugas wawancara kami memang belum tuntas benar. Masih ada dua lagi informan yang harus kami temui. Tapi mereka berdua belum memberikan konfirmasi balik tentang kesiapan mereka. Kami masih menunggu itu, di masjid ini. Sambil santai dan tidur-tiduran

Secara umum, proses wawancara kami berjalan cukup baik. Beberapa informan penting sudah kami dapatkan. Salah satu diantaranya adalah Pong Barumbun yang disebut-sebut sebagai ketua lembaga adat Tana Toraja. Memang, dia adalah target utama kami untuk peliputan kali ini.

Perjalanan menemui dia kami lakukan kemarin siang. Melalui kontak telepon, dia menginformasikan kalau dia bersedia menerima kami di kediamannya. Kediamannya sendiri terletak di kecamatan Buntao, Toraja Utara. Sebagai pendatang, tempat itu asing bagi kami. Tapi untunglah, informasi akses jalan menuju kesana bisa kita peroleh dengan cukup baik. Lagian, kalau nanti sudah sampai di wilayah Buntao, kita akan mudah menemukan alamat Pong barumbun karena dia sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Mungkin ini karena posisinya sebagai ketua lembaga adat Toraja.

Informasi menunjukkan, bahwa ada dua alterntif jalan menuju ke wilayah Buntao. Bisa ke arah kecamatan Rantepao via kecamatan Sanggalangi, dan bisa juga dengan mengambil jalur Sangalla'. Karena sewaktu itu kami tengah berada di wilayah Makale, maka alterntif kedua (via Sangalla') adalah jalur cepat menuju Buntao. Sementara kalau mengambil jalur Sanggalangi, kita harus memutar menuju ke arah Rantepao terlebih dahulu. Tapi, kota 'Rantepao' sudah lumayan membuat penasaran kita untuk dikunjungi selama ini. Maka kita pun mengambil alternatif pertama (via Sanggalangi) dengan konsekuensi perjalanan akan memakan jarak tempuh yang lebih lama. Skenarionya, kita akan singgah berputar-putar sejenak keliling kota Rantepao dengan motor pinjaman ini, lalu meneruskan perjalanan ke Buntao. Lagian, menurut kontak telpon kami dengan Pong Barumbun, dia masih akan menghadiri sebuah pesta pernikahan di wilayah Sangalla. Setelah dari situ baru dia akan kembali kerumah menemui kami.

Bagi kami, semakin jauh jalan yang di tempuh, semakin banyak pula yang bisa dilihat. Ini penting, karena waktu kami terbatas. Tak ada kesempatan lagi untuk jalan-jalan seperti ini, karena tiga hari lagi kita sudah harus berada kembali di Makassar.................

Let's Ride on . . . . . . !!!!!!!

. . . Pada awalnya, ada perasaan gagap yang menghinggapi saat pertama kali mengemudikan motor antara Makale dan Rantepao. Jalanan disini tidak terlalu besar sebagaimana di Makassar. Dan seringkali kita harus berhadapan dengan mobil dengan kecepatan tinggi yang datang dari arah berlawanan. Jadi, harus extra hati-hati. Ya,..... karena beberapa kali motor kami nyaris terserempet mobil saat berada di tikungan tajam.

20 menit kemudian, kami pun tiba di kota Rantepao. Kota ini memang lebih ramai dari Makale, karena memang menjadi daerah perdagangan di Tana Toraja. Deretan pertokoan hadir sepanjang jalan. Sempat juga kami melihat gambar maket sebuah pusat perbeanjaan yang sebentar lagi akan dibangun di kota ini. Segerombolan turis asing juga terlihat mondar-mandir di depan toko-toko souvenir. Beberapa orang diantaranya keluar keluar dari toko sambil menenteng plastik belanjaan. Sayang, tidak ada yang muda. Semuanya terlihat dewasa dan uzur.

Keinginan untuk menikmati kota ini lebih lama terkendala dengan kewajiban kami untuk segera bergerak ke wilayah Buntao. Kami pun singggah bertanya pada beberapa orang tentang jalan menuju Buntao yang via Sanggalangi itu. Ternyata, jalanan itu sudah kami lewati dari tadi. Seharusnya kami tak boleh terus masuk hingga ke Rantepao. Karena jalan ke Buntao via Sanggalangi itu letaknya sekitar 1 km sebelum masuk ke Rantepao dari arah Makale, yang ada simbol patung kerbaunya. Kami sebenarnya sudah sempat melihat patung itu, dan pertigaannya. Namun, keinginan kuat untuk segera mencapai kota Rantepao, sukses memalingkan wajah kami untuk mengacuhkannya

Tanpa basa-basi lagi, motor pun digeber balik ke jalan tadi..........

Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di jalan poros menuju Buntao. Pada awalnya, jalanan yang kami lalui beraspal mulus, namun cukup sempit. Cuman muat untuk satu mobil. Jadi jika kita berpapasan dengan mobil dari arah yang berlawanan, motor kita harus mengalah dengan menepi di pinggiran jalan. Asal berhati-hati saja, karena kalau salah-salah bisa terjerembab ke sawah milik warga.

Sebelumnya, kami sempat bertanya kepada beberapa warga setempat tentang kediaman Pong Barumbun. Syukurlah, yang ditanyakan ini adalah sosok yang populer. sehingga mereka semuanya umumnya tahu benar dimana beliau tinggal. Kata para informan itu, kami harus berjalan terus --tanpa tergoda untuk berbelok-- hingga mencapai pasar. Dari situ kita akan berbelok kanan, melewati jalan kecil yang tak terurus hingga mencapai rumah Pong Barumbun.

Tancaaaaappp...!!!!! motor pun kembali bergerak ke arah yang diberikan. aspal mulus ini membuat perjalanan menjadi menyenangkan. Terlebih, pemandangan di kiri kanan jalan begitu indah. Hamparan sawah dan sengkedan yang berundak-undak sangat sedap dipandang mata. Sawah-sawah itu hadir dengan warna yang beragam. Mulai dari hijau tua..hijau agak muda..hijau muda..hijau ke-kuning-kuningan hingga yang sudah hampir menguning. Belum lagi ditambah dengan bangunan rumah-rumah khas toraja yang mempermanis suasana disana. ..ABSOLUTELY.. MAGNIFECENT...!!!!! Mungkin itulah kenapa sewaktu bertanya tadi, informannya berpesar agar kita tidak 'tergoda untuk berbelok-belok'.

Sayangnya...informan tadi mungkin salah mengkalkulasi jarak pasar yang menjadi tujuan kami. Dia mengatakan kalau jarak pasar tinggal 5 km lagi dari tempat kami bertanya. Namun ternyata, setelah hampir 10 km kami berjalan, belum sedikitpun ada pasar yang nampak. Saya pun ingat pesan seorang teman sewaktu mendaki gunung beberapa waktu lalu Bahwa untuk menghitung jarak dengan perhitungan warga lokal di pedesaan, angka atau jarak yang dia berikan harus dikonversi terlebih dahulu, dengan perbandingan 1 : 3. Nah, jika dia mengajukan jarak 5 km, maka jarak yang sebenarnya adalah 15 km.


Kesabaran kami akhirnya berbuah manis.....pasar itu kami temukan. Sunyi memang, karena saat itu memang tidak sedang giliran hari pasar di tempat itu. Disitu, kami bertanya lagi dan ditunjukkan arah dengan keterangan bahwa rumah Beliau dekat dengan sebuah sekolah dasar dan sebuah gereja.

Perjalanan kali ini tidak semulus yang pertama. Jalanan yang kami lalui menanjak dengan bebatuan yang menyembul disepanjang jalan. Motor harus terus bergerak di persneling 1 sembari menjaga dengan saksama keseimbangan badan. Apalagi yang kubonceng ini --mas Yudha-- termasuk berat 'bobot' tubuhnya. Tiba-tiba saja muncul ketakutanku jika motor ini mogok ditengah perjalanan. Alamaaaaakk...!!!. Kondisi medan yang berat ditambah beban muatannya, memang membuat bodi motor ini mengeluarkan bunyi-bunyian yang aneh, yang tak ada sebelumnya. Tapi....apa boleh buat, perjalanan sudah sampai sejauh ini, PANTANG HATI UNTUK MUNDUR. Tapi, diluar itu semua, perjalanan menanjak kami menemui Pong Barumbun masih terhadiahi pemandangan khas Toraja yang eksotik. Mata ini seakan segan untuk berkedip. Terlalu banyak yang bisa dinikmati di pedalaman Toraja ini. . . . . .


Perjalanan panjang kami naik ke Buntao ini akhirnya berbuah manis. Rumah beliau kami temukan. Letaknya persis disudut jalan. Tapi saat itu sang empunya masih berada di pesta pernikahan. Kami hanya disambut oleh anak perempuan-nya yang masih berusia 6 tahun. Namanya Fajar (......seperti terdengar aneh, bukan..?). Gadis kecil ini manis-nya bukan main (maaf ini murni pengakuan yang jujur. Dan bukan gejala pedofilia). Tidak hanya itu, dia juga ramah dan komunikatif. Jadilah, dia menjadi teman ngobrol kami sembari menunggu ayahnya datang. Kami cukup terhibur dengan anak ini saat dia menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan dialek Toraja-nya yang khas...... Menggemaskan..!!!!!

Dari anak ini, kami memperoleh bahwa tidak jauh dari rumahnya tersebut, ada pesta Rambu Solo' (pesta kematian). Dia mau kesana menyusul ibunya yang sudah berada di tempat itu sedari tadi. Dan dari pada bengong di menunggu, kami pun turut beranjak kesana.

Dan benar, disana ada pesta kematian. Pesta kematian ini tidak sebesar dengan pesta serupa yang kami lihat sehari sebelumnya. Lokasi kosentrasi pesta-nya kecil dan hanya ada beberapa tenda penyambut tamu yang berdiri. Kami pun langsung bergerak masuk ke areal pesta. Maksud kami adalah untuk menjumpai ibu si Fajar (istri pong Barumbun). Dan syukurlah, wanita ini kami bisa temukan, dengan bertanya-tanya tentunya.

Sambutan terhadap kami lumayan hangat. Setelah memperkenalkan diri, kami dipersilahkan untuk masuk ke dalam pondok-pondok (Lantang) bergabung dengan para tamu yang lain untuk di jamu. Tapi kami menolak secara halus, karena lebih ingin dibiarkan bebas mengamati situasi dan kondisi uparaca ritual Toraja yang paling terkenal itu. Istri Pong barumbun pun akhirnya mengerti. Dia mempersilahkan kami untuk 'menikmati' suasana sembari menanti datangnya Pong Barumbun dari pesta kawin di kampung lain. Dia sendiri tidak bisa menemani kami, karena harus terlibat di dapur umum.

Sebagai fotografer, Yudha pun langsung berkeliling mencari objek yang menarik. Sementara aku hanya duduk di dekat meja protokoler acara adat itu sembari menyusun ulang daftar pertanyaan untuk Pong Barumbun. Tak lama kemudian seorang pria tua datang menghampiriku. Dia memakai jas hitam dengan kancing-kancing berwarna emas terang. Tangannya dia julurkan untuk memberi salam. Segera kusambut hangat dengan segaris senyum di wajah. . . . . . Akupun bertanya-tanya.. siapa orang ini...?.


** Continued

0 komentar:

Posting Komentar