Jumat, 19 Maret 2010

Pencarian Jamal


Jamal pun menang. Dia menjadi jutawan. Uang kontan 20 juta Rupee sah menjadi miliknya. Tapi apa arti uang sejumlah itu bagi seorang Jamal ?

Orang-orang bertepuk tangan dan menganggap Jamal beruntung. Mendapatkan uang sebanyak itu hanya dengan menghabiskan beberapa jam diatas panggung, diatas kursi panas. Kata orang, dia kaya dalam sekejap. Tapi bagi Jamal tidak seperti itu. Semua yang dia raih hari itu, adalah ujung dari perjalanan panjang hidupnya. Melelahkan dan menyedihkan. Perjalanan yang Jamal lalui, bukanlah sebuah jalan raya bebas hambatan yang mulus tak bergelombang, dengan warna-warni bunga yang tumbuh di kiri kanannya. Perjalanan hidup Jamal adalah perjalanan yang setiap detiknya harus dilalui dengan ketakutan, kecemasan dan hentakan cemeti.

Jamal kecil hidup di sebuah perkampungan kumuh di sudut kota Mumbai. Di sini, dia pernah menjadi saksi sekaligus korban saat agama menjadi pelecut pertikaian. Dia berada disitu, saat sekelompok penganut Hindu fundamentalis menyerang kampungnya yang komunitas Islam. Dengan matanya sendiri dia melihat ibunya menjadi tumbal sebuah kebencian yang sudah akut. Kebencian yang berlanjut hingga hari ini. Dan Kita pun jadi ingat peristiwa penyerangan di Hotel Taj Mahal beberapa waktu lalu.
Lanjutan kisah hidup Jamal selanjutnya masih berputar-putar disitu. Kerasnya kehidupan di Slum area seolah lengkap tertulis dalam lembaran sejarahnya, tak ada yang dia lewati. Mengikuti jalan hidup Jamal didalam film ini berarti melihat potret utuh kondisi kehidupan masyarakat miskin dan kumuh, yang mengais keajaiban di tengah pongahnya kehidupan kota. Anak jalanan yang dipaksa mengamen, perjudian, prostitusi, dan banyak lagi bentuk ‘kejahatan’ secara gamblang disajikan. Rupanya ini, gambaran kusut tentang sebuah kota ini, membuat gerah beberapa orang. Dan konon mereka menolak kehadiran film ini di sana, di India.

Mungkin juga bukan cuma di India, bahkan sebagian dari kita disini, juga akan ‘menolak’ itu. Menolak untuk mengakui bahwa seperti itulah gambaran wajah India. Saya ingat, dulu sewaktu masih sekolah, saya dan teman-teman pernah beradu argumen tentang negara mana yang memiliki paling banyak perempuan cantik dan laki-laki gagah. Seorang teman saya kemudian menyebut nama India sambil mengeluarkan sejumlah CD film India bajakan dari dalam tasnya. “kalau kalian tidak percaya, nonton ini. Tidak ada orang India yang jelek”. Begitu katanya. Saat itu, film keluaran Bollywood memang tengah digandrungi. Nama-nama seperti Shakh Ruks Khan, Anita Kapoor, Preety Shinta, Aswariya Raid dan lain-lain bergantian tampil dilayar kaca dengan peran yang sebagian besar kompak, yaitu sebagai wakil dari kaum elit India yang kaya, cantik, gagah dan penuh cinta serta tinggal di Istana yang mirip rumah (bukan rumah yang mirip Istana). Begitulah mungkin gambaran tentang India yang kemudian tersimpan di kepala disebagian orang, termasuk di kepala teman saya itu. Maka ketika Jamal hadir dengan segala ke-lusuh-annya dihadapan orang-orang ini, mereka pun tersentak kaget. Tidak percaya. Dan di India, Jamal bahkan ditolak.

India pun lebih kaget saat Jamal hadir di acara Who Wants To be a Millionaire versi India. Acara ini, yang menawarkan menjadi kaya dalam sekejap asal mampu menjawab atau menebak sejumlah pertanyaan, mungkin memang menarik kalau menghadirkan peserta semacam Jamal yang papa. Kesannya lebih dramatis. Saat ini, kemiskinan di banyak tempat memang lebih sering sebagai objek ekploitasi yang kucu dan menghibur daripada sebuah penyakit masyarakat yang ingin dimusnahkan. Tidak percaya . .? nonton saja Televisi-televisi kita. Hahahaha.

Lagipula, dengan sosok Jamal yang datang pemukiman kumuh, pemilik acara merasa ‘lebih aman’. “Mana mungkinlah seorang miskin yang tidak pernah belajar di sekolah itu bisa meraup banyak uang dari acara ini, Paling-paling dia hanya sanggup pada 3 pertanyaan.” Begitu mereka menganggap. Itulah makanya kesan mengejek latar belakang Jamal jelas tergambar oleh Host acara itu --yang diperankan oleh Anil Kapoor--.

Tapi mereka salah. Jamal mampu menjawab rentetan pertanyaan itu. Dia melangkah jauh, jauh dari yang mereka, para pemilik acara, perkirakan. Semua tercengang dan tidak percaya. Terlebih sang pemandu acara. Beberapa kali dia sempat mengusulkan Jamal supaya mundur. Uang yang sudah didapatkan menurutnya sudah berlebihan untuk seorang macam Jamal. Tapi Jamal tak bergeming. Dia terus menjawab dan terus berhasil. Para pemilik acara itu –yang berasal dari kaum elit kota—seakan frustasi dengan pencapaian Jamal. Mereka masih tak akur dengan kenyataan bahwa Jamal sudah mengeruk banyak dari mereka. Dan Jamal pun di interogasi. Di berondong dengan pertanyaan di sebuah kantor polisi. Pak polisi di kantor itu seolah ingin tahu apa resep kesuksesan Jamal sembari berharap dia akan mengalami hal serupa nantinya. Resep apa yang membuat Jamal yang kumuh dan tak pernah belajar di sekolah, bisa menjawab banyak pertanyaan sulit.

Jamal pun bersuara, berbagi ‘rahasia suksesnya’ kepada inspektur Polisi itu. Tapi yang dilakukan bukannya mengajari tips dan trik untuk menebak jawaban. Yang dilakukannya bukan juga memberikan referensi buku sekolah yang memuat semua pengetahuan. Tapi yang dilakukannya justru hanya bercerita tentang perjalanan hidupnya yang sumpek, keras, tragis, mengerikan dan sedikit menjijikkan. Dari situlah dia mengetahui semua jawabannya. Jawaban yang mungkin tidak ada di bangku sekolah. Penuturannya tentang pengatahuan, yang sudah mengantarkannya sejauh itu, seolah menafikan keberadaan sekolah formal. Dia belajar, tapi bukan di sebuah institusi yang terprogram dan rapi secara administratif. ‘Sekolahnya’, tempatnya menimba pengetahuan adalah hidupannya sendiri. Dia tahu banyak hal bukan dari bangku sekolah, tapi dari ‘sekedar menjalani hidup dan takdirnya’.
Jamal pun menang dan dia menjadi jutawan. Tapi sekali lagi, apakah arti uang 200 juta rupee itu bagi seorang Jamal ?.

Dalam film kingdom of Heaven, ada dialog antara Salahuddin dan Ibelin. Saat itu Ibelin bertanya kepada Salahuddin, apa arti Jerussalem bagi kaum muslimin. Salahuddin pun menjawab “its Nothing” seraya berbalik badan kembali ke pasukannya. Tapi beberapa detik kemudian dia kembali berbalik dan menjawab “But it’s Everyting” sambil tersenyum. Senyuman yang dibalas serupa oleh Ibelin.
Saya menduga Jamal juga akan menjawab serupa tapi dengan membalik jawabannya. Jika ditanya apa arti uang 200 juta Rupee bagi Jamal, mungkin dia akan menjawab “Its Everything, but it’s Nothing”. Memang bagi Jamal yang kumuh uang sebanyak itu bisa membuatnya melakukan banyak hal terutama soal kualitas hidupnya. Dia bisa tinggal di tempat yang lebih baik, Mendapatkan makanan yang lebih layak. Mengendarai mobil mewah. Termasuk bertemu dengan Amitha Bachan, sang idola. Disini, bagi Jamal, uang itu bisa bermakna “Everything”.

Tapi bisa juga tidak –it’s Nothing--. Impian terbesar Jamal bukanlah untuk menjadi seorang pesohor yang kaya raya. Impiannya adalah bertemu dengan Latika, teman kecilnya yang telah menanamkan bibit cinta di hatinya. Hingga kemudian mereka beranjak dewasa dan terpisah, bibit itu telah menjelma menjadi pohon besar yang berakar kuat dan tak mudah goyah. Tampil di kuis dan memenangkannya hanyalah sepotong titian yang diatas sungai yang membantunya untuk tiba di ruang impiannya. Mendapatkan 200 juta Rupee bagi Jamal, mungkin hanyalah satu ‘takdir lain’ yang merupakan kelanjutan dari takdir-takdir sebelumnya yang menghantarkannya kepada sang pecinta. Tujuan terbesarnya sekali lagi adalah bertemu dengan Latika. Dan perjalanannya dalam film ini sesungguhnya bukanlah perjalanan Jamal menjadi seorang Millionaire, tapi perjalanannya bertemu dengan sang KEKASIH.

Itulah mengapa adegan paling akhir dari film ini bukan pada saat Jamal menerima secara simbolis uang 200 juta Rupee itu. Atau pada saat dia menjalani kemewahan hidup dengan uang yang dimenangkannya itu. Tetapi film ini ditutup dengan adegan saat Jamal; –pada akhirnya—bertemu dengan Latika di sebuah stasiun Kereta Api yang tidak mewah.

Saya sendiri, usai menyaksikan film itu, kemudian menjadi asing dengan judul flilm ini “Slum dogs Who Wants To be a Millionaire”. Bagi saya judulnya yang paling pas adalah “ Slum Dogs Who wants to be a Great Lover”. Sayang saya bukan Sutradaranya . . .. .

0 komentar:

Posting Komentar