Jumat, 19 Maret 2010



.....Hari ke-dua di Tana Toraja.

Pagi masih terlalu dingin bagiku untuk terlalu banyak bergerak. Apalagi untuk mandi...brrrrrrrrr !!!!. Tapi, berdiam diri juga bukan pilihan tepat. Karena itu berarti menyerahkan diriku sepenuhnya untuk diringkus hawa pegunungan yang membekukan. Tidak seperti di Eropa, rumah-rumah di sini memang tidak memiliki tungku pemanas ruangan. Jadi, kita harus menemukan cara sendiri untuk menghadirkan panas tubuh dan mencegah hipothermia. Maka kupilih berjalan-jalan kecil di sekitar rumah sembari menyilangkan tangan didepan dada . . . . .

Rumah ini sendiri, bukan tempat yang asing. Saya pernah kesini beberapa kali sebelumnya. Sudah empat kali, tepatnya.

Pada kedatangangan yang pertama, belum ada yang bisa kuingat. Wajar saja, usiaku masih lagi 2 tahun. Konon, kedatangan saya kesini bertepatan dengan meninggalnya Kakek buyut saya. Saat itu, sebagaimana tradisi sebagian besar orang Toraja, kematiannya 'diupacarakan' secara besar-besaran. Aku mengetahui bahwa kehadiranku disini, dari sebuah foto kenangan yang pernah kulihat beberapa tahun sebelumnya. Dalam foto itu, aku digendong oleh salah seorang sepupu dari ibuku bersama dengan beberapa orang tua renta yang tidak semuanya kukenal. Itulah pertama kalinya aku diperkenalkan dengan keluarga besar ibuku. Maklum saja, ibuku yang memang tumbuh dan besar disini, sudah merantau jauh ke Poso. Dimana dia kemudian menikah dan akupun kemudian lahir. Tempat kami mengambil gambar di foto itu dilantai dua. Tepat berhadapan dengan tempat saya mengetik tulisan ini. Saat itu saya baru berusia dua tahun, Berarti gambar ini diambil sekitar tahun 1986, atau 23 tahun lampau.

Kedatangan saya yang untuk kedua kalinya, terjadi sekitar tahun 1991. Masih dalam konteks yang sama, Upacara kematian. Kali ini yang meninggal adalah nenek buyutku. Saat itu usiaku baru 7 tahun. Kedatangan kali ini, tidak bersama seluruh keluargaku. Bapak dan ibu tidak turut serta. Aku datang hanya dengan seorang tanteku yang merupakan adik dari ibuku.

Tidak terlalu banyak yang bisa kuingat, namun masih ada sedikit yang tersisa. Perjalanan dari Poso ke Toraja kala itu, bukanlah perjalanan yang mudah. Mayoritas jalan yang kami lalui berupa tanah becek yang belum beraspal. Kendaraan yang kami tumpangipun bukan bis besar yang nyaman. Tapi sebuah mobil kijang kotak warna biru muda (saya masih ingat betul warnanya) yang beberapakali sempat mogok dijalan. Kami waktu itu dapat tempat untuk duduk di depan, tepat disamping supirnya yang berkepala plontos.

Entah kenapa, waktu itu aku lebih menikmati saat kami melalui jalanan berlumpur nan becek. Aku membayangkan bahwa kami tengah mengikuti lomba Off Road seperti yang sering aku tonton di acara Dari Gelanggang Ke Gelanggang. Dalam perjalanan jauh seperti itu, mobil-mobil kijang angkutan antar propinsi memang biasanya berjalan beriringan dalam satu kelompok. Supaya lebih aman, katanya. Dan iring-iringan itu, bagiku mirip sebuah perlombaan. Apalagi knalpot mobil mereka, mengeluarkan suara besar....seru..!!!!!!!!.

Saya masih ingat juga, kalau sewaktu itu kami sempat singgah di Palopo. Disana, aku bertemu salah seorang kakak sepupu yang akhirnya jadi teman sepermainanku. Dan bersama keluarganya, Kami meneruskan perjalanan bersama-sama ke Toraja........ke rumah ini.


Tahun 1995 adalah tahun kedatanganku untuk ke-tiga kalinya. Juga dalam suasana upacara adat kematian. Saat itu, seorang paman ibuku tutup usia. Dan kami sekeluargapun datang menghadirinya. Bagiku, ini adalah kenangan terbesar tentang toraja dan juga tentang rumah ini. Banyak sekali hal-hal yang terekam dalam ingatanku seputar peristiwa itu. Setiap sisi dan ruang dari bangunan rumah ini punya cerita. Bahkan, beberapa tempat dari kampung ini (namanya Lamunan) seakan masih menyimpan jejak-jejak kecilku, yang saat itu berusia 11 tahun. Sebuah usia yang memang mampu untuk menyimpan banyak memori.

Sebenarnya, saya masih merasa sedikit terasing saat kemarin menginjakkan kaki lagi dirumah ini. Keadaannya sepi, sunyi dan hanya dua tiga orang yang bisa nampak. Selebihnya, kosong. Ini imaji yang sungguh berbeda. Sangat kontras denga kedatanganku di tahun itu, . . . tahun 1995.

Saat itu, rumah ini tak ubahnya pasar dengan ratusan orang yang lalu lalang. Sibuk dengan berbagai hal. Warna hitam mendominasi pakaian mereka. Sementara itu dibeberapa sudut tempat, bendera dan simbol-simbol adat terpancang megah. Suara-suara yang berseliweran di telinga juga hadir bermacam-macam. Mulai dari percakapan dalam bahasa Toraja yang bersahut-sahutan, suara para wanita tua yang menapi beras, lengkingan khas Toraja, dan suara pemangku adat yang keluar dari pengeras suara.....Ramai, ramai sekali.

Bagiku, tempat itu juga terasa ramai karena banyak sekali sepupu-sepupuku yang juga datang. Umumnya mereka ini se-usiaku. Saya masih menyimpan foto-foto bersama mereka saat mengenakan baju adat khas Toraja. Kami waktu itu bertindak sebagai penyambut tamu yang datang. Saya masih ingat, waktu itu saya yang paling sulit diajak untuk dipakaikan baju adat ini. Saya merasa kurang nyaman, dan entah kenapa. Namun, setelah melihat sepupuku yang lain juga mengenakannya, maka hati ini pun luruh. Aku bersedia dengan beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku. Misalnya saja, aku harus dapat 'jatah' minuman cream soda jika tugas menyambut tamu berakhir di sore harinya.
Tempat kami menyambut tamu itu berada di sebelah kiri rumah ini, yang sekarang sudah dipenuhi oleh bunga-bunga milik nenekku.


. . . . . Tanpa sadar, langkah kakiku di pagi ini kemudian terhantar ke bagian belakang rumah. Disana terlihat pepohonan bambu yang tumbuh liar mengelilingi kandang ayam milik pamanku. Beberapa pohon cokelat juga hadir diantaranya, dengan beberapa buahnya yang terlihat matang dan siap untuk dipetik.

Dulu, ditahun 1995 lalu, tempat ini adalah lokasi tempat keseluruhan prosesi adat di langsungkan. Pastilah, tidak ada pepohonan bambu dan pohon cokelat pada saat itu. Apalagi kandang ayam ini. Semuanya dibersihkan dan diratakan. Saat itu, tempat ini hadir dalam bentuknya yang lapang, seukuran setengah lapangan sepakbola. Cukup luas. Di bagian pinggirannya dibuatkan pondok-pondok untuk tempat beristirahat para tamu dan keluarga yang datang dari jauh. Keluargaku pun sebenarnya kebagian satu. Tapi ibuku lebih memilih untuk tinggal di dalam rumah ini, tidak di pondok itu. Karena waktu itu ada adik bungsuku yang masih bayi dan terlalu riskan untuk tinggal ditempat terbuka seperti itu.

Di tengah lapangan itu dahulu hanya ada sebongkah batang kayu jambu yang telah ditebang. Seekor kerbau belang berukuran besar diikatkan disitu. Tanduknya memanjang dikedua sisi. Konon katanya, itu kerbau termahal yang ada di pesta itu. Sementara beberapa kerbau lain diikatkan di sekeliling kerbau tersebut. Bentuk mereka tidak se-menarik dan se-gagah kerbau belang. Kami --saya dan sepupuku-- menganggap bahwa kerbau belang ini adalah raja. Sementara kerbau-kerbau lainnya adalah pengawal dan abdinya.

Saat itu, kami juga sudah mendengar tentang adanya acara duel kerbau atau adu kerbau. Dan dugaan kami waktu itu, pemenang dari duel kerbau itu, nantinya akan berhadapan dengan sang kerbau belang yang menjadi jagoan kami ini. Mitos tentang kehebatan kerbau belang itu memang sudah merasuki pikiran kanak-kanak kami. Dan kami pun menunggu kapan adu kerbau itu dimulai...........

Hingga suatu hari, saat kami tengah berjalan-jalan di sekitar area persawahan, salah seorang teman yang merupakan anak asli disini datang berlari-lari menyusul kami sambil berteriak...." Hey, kerbau belangnya sudah dipotong..!!!!!!!!!!". Kami yang mendengar itu sontak terkejut tak percaya, dan langsung berlari secepat mungkin ke lapangan di belakang rumah, tempat kerbau itu diikat. Dan benar saja, kerbau belang jagoan kami tengah tergeletak dengan leher teriris. Darah bersimbah di tanah dan lalat-lalatpun mengerubutinya. Kami semua terpekur sedih, tapi tak sesedih salah seorang sepupu saya dari Jakarta. Dia langsung memangis saat itu juga dan berlari mencari ayahnya. Dia mungkin yang paling sayang sama kerbau belang ini. Tiap hari dia selalu turut dengan seorang kerabat saya untuk mengambil rumput, makanan si kerbau belang. Tapi kini, kerbau itupun sudah menjadi korban pertama. Lebih awal dari dugaan kami, bahkan sebelum kami melihat dia bertarung........

... Aku masih berjalan-jalan pagi ini. Dinginnya pun masih terasa. Langkahku mengarah ke bagian depan rumah. Ada tangga-tangga beton yang menjadi sarana untuk mencapai jalan raya. Tangga-tangga seperti ini adalah bangunan yang wajar di Toraja, karena rumah-rumahn yang terletak ditanah ber-kontur lereng pegunungan. Oh..iya, saya ingat juga di tangga-tangga ini, kejahilanku bersama para sepupuku pernah berbuah buruk. Kami main dorong-dorongan di tangga beton itu. Salah satu teman kami --yang asli situ-- kemudian terpental jatuh karena tak bisa menguasai keseimbangannya. Kepalanya sempat membentur tembok dan pelipisnya mengeluarkan darah. Kami ketakutan setengah mati. Apalagi kami mendengar kalo ayahnya adalah seorang tetua adat yang berkumis tebal. Jadilah, selama seharian itu, kami tidak berani keluar rumah dan hanya bermain di dalam kamar.

Tepat didepan rumah ini ada serumpun bambu besar. Ini pemandangan yang tidak berubah. Memang, lingkungan rumah ini dan sekitarnya secara fisik tidak terlalu berbeda saat saya datang dulu, sekitar 14 tahun yang lalu. Jumlah rumahnya masih sama. Jalannya pun tidak berbeda. Juga... rumpun bambu ini. Saya masih ingat, rumpun bambu ini adalah tempat kami mencari dan menangkap kunang-kunang. Mengumpulkannya dalam kantung plastik dan membawanya ke dalam kamar sambil mematikan lampu . . . indah dan menarik sekali. Memang, bagi kami, kunang-kunang adalah hewan yang dikenal namun jarang kami temukan. Beberapa diantara kami bahkan baru kali itu melihat secara langsung makhluk kecil yang mengeluarkan cahaya itu. Saya pun termasuk diantaranya. Dahulu, aku bahkan sempat berpikir untuk membawa pulang kunang-kunang itu ke kampung halamanku, di Poso. . . . . . . . hahahahahaha..!!!!


**

Kedatanganku yang keempat kalinya ke rumah ini terjadi sekitar 7 tahun silam, bersama almarhum Ibuku, yang meninggal dua tahun lalu. Saat itu, aku baru saja selesai mengikuti ujian masuk ke UNHAS lewat jalur SPMB. Karena pengumuman yang masih cukup lama, kami pun bertandang kemari selama seminggu. Saat itu, tidak ada acara kematian sebagaimana kedatanganku sebelum-sebelumnya. Tapi rumah ini lumayan ramai. Ada beberapa kerabat dan family disini. Sayang kedatanganku saat itu tak sepenuhnya kunikmati. Sehari setelah tiba disini, demam panas tiba-tiba menjangkitiku. Badan terus meriang, keringat tak berhenti mengucur dan makanan jadi tak menyenangkan, karena lidah terasa pahit. Selama empat hari disini aku hanya terbaring lemah dibawah selimut. Tak bisa melakukan apa-apa. Padahal, saya dan ibuku sudah mengagendakan untuk berkunjung ke rumah beberapa sanak keluarga. Tapi, sakit ini tak mengizinkannya. Ibuku pun tak bisa keluar sendiri sementara aku masih tergolek tak berdaya. Untunglah ibuku seorang suster, sekaligus perawat sejatiku. Dengan telaten beliau mengurus dan menjagaiku, hingga benar-benar pulih beberapa hari kemudian, atau dua hari sebelum kita balik ke Makassar.

Dua hari masa sehatku itu benar-benar kami manfaatkan untuk berkunjung. Namun hanya dilingkup keluarga inti saja, karena waktunya sangat terbatas. Pun ibuku, belum mau memaksakan berpergian jauh karena kondisiku belum terjamin sepenuhnya. . . . . . .

Hingga hari ini,..... aku datang lagi ke Tana Toraja dimana leluhurku berasal.. dan tinggal dirumah ini, dimana alm.Ibuku lahir dan dibesarkan.

Semalam, saat mencari kertas selembar kertas kosong diantara tumpukan buku dalam lemari, aku menemukan foto ibuku saat masih tinggal disini. Aku ingin membawanya pulang, tapi aku teringat bahwa dirumah beliau menikmati masa-masa itu dan tak bijak kalau aku mengambilnya, memisahkan beliau --dalam foto itu-- dengan rumah ini. Beliau adalah bagian dari rumah ini, dan rumah ini adalah bagian penting dari sejarah hidup beliau. Jadi saya membiarkan foto itu. Berkumpul dengan foto-foto yang lainnya dirumah ini.... . . . . .. .

Entah kenapa, saya seakan merasakan kehadiran ibuku dirumah ini. Dia dekat, dekat sekali.......

0 komentar:

Posting Komentar