Jumat, 19 Maret 2010

Pantai . .


. . . . . . Setelah menghabiskan malam dengan teman-teman lama, sebenarnya saya ingin bangun se-lama mungkin pagi ini. Biar bisa melanjutkan aktifitas kunjungan dengan fit nantinya. Jadwal berkunjung dan jalan-jalan memang masih menumpuk. Beberapa kawan belum di temui, begitu juga dengan sejumlah sanak family. Dengan istirahat yang cukup, saya yakin bisa memenuhi semuanya hingga lebaran resmi dinyatakan 'berakhir' nantinya.

Tapi, keinginan kadang tidak sejalan dengan kenyataan. Begitupun pagi ini. Saat masih nyaman terlelap di kamarku, dua orang adik sepupuku tiba-tiba menghambur ke dalam kamar. Mereka membuat suara gaduh sembari menarik-narik kakiku. Sang adik (usianya 4,5 tahun) langsung naik ke tempat tidurku dan dengan suara kecilnya, dua berbisik ke pinggir telingaku "Kak Ito* bangun !!, Mandi laut . . . ". (*Ito : nama panggilan kecilku dan di keluarga dekat). Beberapa saat kemudian saya baru tersadar dengan kehadiran mereka, dan si kecil yang tengah duduk tepat di samping kepalaku sembari mengiba-iba supaya saya segera bangun.

Dalam kantuk yang begitu memberat, saya tak bergeming dan terus berupya untuk masuk kembali ke alam tidurku. Tapi, semakin ku abaikan mereka, semakin riuh pula suasana kamar dibuatnya. Kakaknya yang berusia 8 tahun terus berteriak-teriak 'Bangun..bangun..bangun' dengan memukul-mukulkan kaleng Coca-Cola ke pintu kamarku. Sementara si Adik mulai anarkis dengan menarik kupingku lalu memutar-mutarkannya. Nada meng-ibanya, juga mulai terdengar seperti ingin menangis.

'Bala bantuan mereka' kemudian datang, saat adik perempuanku masuk dan menyingkapkan tirai jendela kamarku. Cahaya matahari pun masuk tepat menghantam wajahku. Saya memang tipe orang yang mudah takluk dengan cahaya matahari jika sedang terlelap. Sekali saja terkena sinarnya, saya pasti langsung tersontak dan bakalan susah untuk tidur lagi . . . . .

Akhirnya, saya pun menyerah kalah....... Dengan sedikit nge-dumel, saya bangkit segera menuju ke kamar mandi dan menyepuhkan wajah dengan air untuk mengembalikan kesadaran.

Sementara, dua orang bocah itu nampak sudah siap dengan tampilan renangnya, celana pendek tanpa baju. Mereka menungguku di pintu pagar. Jelas sekali mereka tak sabaran ingin segera menceburkan diri ke laut. Saya sendiri sebenarnya masih belum sepenuhnya siap untuk pergi ke pantai. Tapi kasihan juga kalau melihat antusiasme mereka yang tengah memuncak.

Kedua bocah itu memang termasuk 'lautholic' (pecinta mandi laut). Rumah mereka terletak cukup jauh dari rumahku, yang juga berarti jauh dari laut. Tiap hari minggu mereka datang ke rumahku untuk bercengkrama dengan laut. Biasanya ditemani oleh ayahku. Tapi kalau saya lagi datang dari Makassar (seperti saat ini), maka sayalah yang menemani mereka. Bahkan kadang, saya yang sering berinisiatif menjemput mereka di rumahnya.

Dengan langkah yang gontai dan setengah mengantuk, sayapun takluk pada permintaan mereka . . . . Eh tiba-tiba, tanpa rasa berdosa si kecil masih meminta 'bonus' fasilitas dariku. Dengan wajah memelasnya, dia menyeletuk ringan " Gendong..!!" *_*

Rumahku memang terletak dipinggir laut, mungkin hanya sekitar 15-20 meter. Dan saat itu, pantai tengah ramai-ramainya. Beberapa kendaraan bermotor terparkir tak beraturan. Jumlahnya cukup banyak, dan 2 diantaranya adalah kendaraan roda empat. Mereka ini tengah berekreasi, menghabiskan liburan di pantai.

Kehadiran turis lokal, yang didominasi anak-anak ini, ternyata punya nilai positif. Saya tak perlu terburu-buru menceburkan diri ke laut menemani kedua adik sepupuku. Mereka berdua akan langsung bergabung dengan anak-anak yang datang itu, dan bermain bersama-sama. Anak-anak memang selalu punya daya tarik untuk cepat akrab satu dengan yang lainnya. Dan jika suasananya seperti ini saya cukup mengawasi saja dari bibir pantai. Hal ini berbeda kalau pantai lagi sepi. Sebab biasanya mereka selalu memintaku segera bergabung dengan mereka. Kalau sudah begitu, saya pun akan segera 'dijelmakan' menjadi ikan paus yang terus menyelam sembari mereka naik ke pundakku. Mereka kadang tak peduli kalau mata ini sudah memerah karena terlalu lama dalam air. . . .

Dan kehadiran anak-anak di pantai seperti hari ini, sukses 'menyelamatkan'ku. Saya bisa dengan tenang duduk di bibir pantai sembari menyeruput segelas moccacino yang memang kubawa dari rumah, dan mengawasi kedua bocah itu dari jauh.

. . . . . . Pantai ini, memang salah satu tempat terpenting dalam lembaran masa kecilku. Banyak waktu yang kuhabiskan disini. Untuk sekedar duduk-duduk, mandi laut, dan memancing. Yang terakhir itu, bahkan menjelma menjadi salah satu kegiatan favoritku. Saya bahkan masih mengingat saat pertama kali memancing di pantai ini. (setiap hal yang 'pertama' dalam hidup kita biasanya akan berkesan kuat dan selalu teringat).

Kejadiannya sekitar 18 tahun lalu. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1991. Kala itu saya masih duduk di kelas 2 SD, dan baru sekitar setahun pindah ke daerah ini.

Karena bertepatan dengan peringatan Hari Proklamasi RI, Kita hanya mengadakan upacara bendera disekolah lalu pulang setelahnya. Dalam perjalanan pulang ke rumah, dua orang kakak sepupuku yang tinggal berdampingan dengan rumahku, lalu melontarkan ide untuk pergi memancing. Semuanya pun akur, termasuk saya. Apalagi, ini bakal menjadi debut saya bergelut dengan alat-alat pancing.

Kami pun bergegas ke rumah. Dua kakak sepupuku lalu mempersiapkan semuanya. Mereka, yang usianya terpaut 3 dan 5 tahun lebih saya, terlihat begitu cekatan saat mengikat mata pancing ke kailnya. Begitu pula saat menyambungkannya ke bambu kecil sebagai stik-nya. Mereka memang akrab dengan kegiatan ini dan sudah sering melakukannya. Terlebih karena mereka memang 'anak pulau' yang juga barusan pindah ke daerah ini. Sementara bagi saya, semuanya akan menjadi pengalaman yang pertama. Dan saat fase persiapan itu, saya mendapat kehormatan untuk duduk diam, melihat dan 'tidak mengganggu'.

30 menit kemudian, peralatan kami pun siap sudah. Segera, kami bergerak pantai. Spot yang kami pilih adalah sebuah karang besar yang teronggok bisu di bibir pantai. Manapaki karang itu, kita harus berhati-hati, karena konturnya yang tajam dan mudah membuat lecet, apalagi kalau sampai terjatuh dari situ. Oh iya, karang itu masih ada hingga saat ini, walaupun bentuknya sudah tak mirip dengan di kala itu.

Sebagai umpannya, kami menggunakan siput darat yang di sini disebut 'bilolo'. Pertama-tama, bilolo itu dikeluarkan dari cangkannya (entah secara halus atau dipaksa), lalu dipisahkan antara perut dan kepala. Nah, bagian perut itulah yang digunakan sebagai umpan. Bentuknya sekilas memang mirip cacing tapi agak gemuk. Bilolo seperti ini memang mudah di temui di sepanjang pantai . . . . . .

Usai mengumpulkan umpan sebanyak-banyaknya, kami pun naik ke karang itu. Sebagai alas duduknya, kami mengambil (mencuri, lebih tepatnya) beberapa papan alas perahu yang tengah terparkir di pantai. Mengambil papan-papan ini memang beresiko tinggi. Jika yang punya tahu, dia pasti akan menghardik kami. Tapi mau diapa . . . . . nanti saja resikonya ditanggung..!!!

Sebagai pemancing pemula, kedua kakak sepupuku itu terus membimbingku tentang 'cara memancing yang baik'. Mulai dari memilih spot yang potensial, memasang umpan yang menarik, memegang stick pancing (dari bambu) yang aman, memberikan respon balik terhadap ikan yang 'menyambar umpan' serta bagaimana nanti menarik ikan agar tak terlepas. Sebagai murid yang baik, saya hanya 'manut-manut wae'.

Memancing pun dimulai . . .

Saya ingat 10 menit pertama, suasananya begitu serius dan menegangkan. Kedua sepupuku terlihat menunggu dan sigap akan untuk memberikan respon. Sesekali mereka menghentakkan stick pancing mereka. Tak ada ikan yang terangkat memang, tapi setiap kali ada respon dari ikan dibawah sana, mereka terlihat makin bersemangat. " Di makan umpannya..!!!" seru mereka. Saya sendiri hanya melongo tak jelas dan melihat mereka yang kacau balau. Sedari tadi alat pancingku memang bergetar seperti ada ikan yang mengorek-ngorek. Tapi kudiamkan saja dan kubiarkan seperti itu, tidak lantas menghentaknya sebagaimana yang dilakukan kakak sepupuku.

20 menit berlalu, mereka mulai tampak kelelahan menghentak-hentakan alat pancing. Umpan kami juga sudah mulai menemui batas habis. Suasana sudah mulai mencair, tidak lagi menegangkan sebagaimana tadi. Mereka berdua mulai bisa duduk tenang dan pasrah bakal pulang dengan tangan hampa. Kami tak lagi terkosentrasi kegiatan memancing. Kail dan umpannya dibiarkan saja terjulur ke laut.

Mereka berdua lalu bercerita tentang pengalaman memancing mereka masing-masing dan bagaimana mereka bisa menangkap ikan-ikan berukuran besar. Sekali lagi saya hanya melongo saat menyimak mereka saling bertukar cerita . . . . . .

Setelah hampir 45 menit, kami pun memutuskan pulang dan bersepakat akan kembali lagi besok sore. Tapi, ketika hendak mengangkat kailku, tiba-tiba terasa berat. Saat itu aku berpikir kalau mata kailku tertahan oleh batu karang atau berkait dengan mata pancing milik sepupuku. Salah seorang diantara mereka pun mencoba menengok ke laut. Dan ternyata, ada Ikan yang tengah menggantung di mata kailku.

"..Ada Ikan, Tariiik ..!!!" serunya padaku. Dalam keadaan terkejut, saya pun langsung menarik stick pancingku dengan segenap tenaga yang kumiliki. Dan benar, seekor ikan seukuran telapak tangan terlihat mengelepar-gelepar diujung mata pancingku. Antara kaget dan terkejut dan sedikit takut, tiba-tiba saja saya melepaskan stick pancingku itu dan berespon menjauh. Untung saja sepupuku begitu sigap dan langsung mengamankan stick pancing yang kulepaskan. ........ Ikan itu lalu dilepaskan dari kaitan mata pancingnya . . . .

Saya sendiri masih terdiam dan sedikit shock dengan keadaan itu. Ikan yang menggelepar-gelepar dan menggetarkan stik pancingku sudah cukup untuk membuatku panik. Nanti setelah merasa sedikit agak tenang, baru saya memberanikan diri mendekati ikan itu, hasil pancingan saya sendiri. Ternyata itu jenis ikan sebelah. Ikan ini bentuknya sangat unik dan berbeda dengan ikan kebanyakan. Kedua matanya berada di satu sisi dan warnanya sama dengan warna pasir (sebagai kamuflasenya).

Dengan segenap keriangan ikan itu kami bawa pulang. Kami bersepakat untuk menggorengnya dan menikmati bersama-sama. Bagi saya saat itu, menikmati ikan itu tak menjadi prioritas, karena saya sudah cukup bahagia saat menarik ikan pertamaku pada pemancingan pertamaku. Fuiiihhh..!!!. Lagipula, ikan itu terlalu tipis dan kecil untuk dinikmati bertiga.

Semuanya, bagiku, masih jelas terekam. . . . . . Dan itu terjadi sekitar 18 tahun lalu, diatas batu karang itu. Di pantai ini..!!!

0 komentar:

Posting Komentar