Jumat, 19 Maret 2010

Menemui 'SAHABAT'


'Jun, selamat Tahun Baru Hijriyah. Oh iya, aku baru tiba di Makassar'.

Pagi tadi sebenarnya biasa saja, sebelum pesan singkat itu masuk. Saat itu aku tengah bertelanjang dada sambil memegang kuas ukuran sedang dan setengah kaleng cat cokelat tua merk ********. Kusen pintu rumah yang barusan kutempati membutuhkan sedikit kemampuanku untuk mewarnai. Tugas yang sebenarnya masih tanggung jawab 'pekerja' perumahan diluar sana. Tapi tak apalah, mumpung libur dan cuaca diluar lagi mendung sehingga aku tak berniat untuk keluar rumah.

Pekerjaan mewarnaiku belum lagi menyentuh progress 50 % saat itu ponselku berdering nyaring, membawakan pesanmu itu. Demi Neptunus, aku tersentak Pertama, aku baru tahu kalau hari ini libur karena Tahun baru Hijriyah (pikirku Isra' Mi'raj). Kedua, karena . . kedatanganmu. Perasaanku langsung berubah kacau-balau dan serba tak jelas serta uring-uringan. Untunglah semua tak berlangsung lama . . perlahan, aku mulai bisa mengembalikan kesadaranku pada titik sebagai mana mestinya.

Coba ku hitung, hmmm, total sudah hampir 20 bulan sejak terakhir aku menemui di rumahmu. Membantumu mengepak barang-barangmu sebelum kau pergi meninggalkan kota ini. Iya benar, 20 bulan lalu, tepatnya 2 hari setelah hari Ulang Tahunmu. Aku juga masih mengingat bentuk potongan kue itu, yang kau hidangkan saat aku tengah beristirahat sejenak usai mengikat-ngikat dus besar yang berisi komputer. Jus jeruk dingin hadir pula menemani kue cake itu, yang merupakan bagian dari kue ulang tahunmu. Juga pada saat kau sibuk mencarikan kipas angin setelah melihat keringat bercucuran di sekeliling wajahku. Kau mungkin menganggapku kelelalahan sangat. Tapi, sebenarnya tidak. Aku memang tipe orang yang mudah berkeringat saat banyak bergerak. Terlebih saat itu aku masih mengenakan jaket sweater tebal abu-abu milik adikku.

Pertemuan kita hari itu berakhir di siang hari saat semua barangmu usai ku-packing. Sayang aku tak sempat mengantar keberangkatanmu karena aku sendiri sudah harus balik ke kampung halamanku malam itu. Kita sempat terdiam beberapa lama di depan pintu pagar rumahmu. Saat aku telah bersiap di atas kendaraanku yang akan membawaku beranjak dari rumahmu. Terus terang, aku sempat bingung mau mengatakan apa sebelum berpisah, dan aku yakin kaupun merasakan serupa. Makanya kita hanya saling melihat beberapa saat, terdiam dan . . tak ada !!!.

20 bulan kita tak pernah bertatapan langsung. Jujur saja . . aku sudah belajar banyak hal dalam kehidupanku. Termasuk belajar untuk menerima bahwa tidak semua yang kita harapkan itu bisa berwujud nyata. Dan bahwa ketergantungan yang terlalu tinggi pada sebuah harapan akan membunuh kita. Demi Tuhan, aku takut menjadi gila sebagaimana banyak orang diluar sana.
Nah, pada saat kau memilih untuk hijrah kembali ke kota asalmu, bagiku itu kesempatan baik untuk menjauhkan kehidupanku dari ilusi impian tentangmu. Bukan 'melupakanmu', tetapi melupakan semua 'impian tentangmu'. Karena sesungguhnya, aku akan menjadi makhluk paling dikutuk jika berani 'melupakanmu'. Sekali lagi, kau salah satu yang terbaik dalam sejarah perjalanan hidupku. Alasannya bisa kuhamparkan disini.
Kau hadir pada saat aku berada pada masa-masa tersulit dalam kehidupanku. Aku takkan lupa bagaimana kau datang saat Alm. Ibuku tengah terkapar tak berdaya dengan kanker usus yang tengah menggerogoti beliau. Begitu juga saat beliau menemui ajalnya, kau menyempatkan datang menghadiri tahlilannya, menembus hujan yang luar biasa saat itu. Kau tahu, keluarga-keluarga terdekatku saja tidak banyak hadir saat itu.

Ah, sudahlah . . masih terlalu alasan untuk kupaparkan disini kalau aku mau. Kesemuanya itu hanya itu lebih dari cukup untukku menjadikanmu sebagai ' Salah satu sahabat Terbaik yang pernah kumiliki'. Makanya, tidak akan pernah ada satu alasanku untuk membencimu, separah apapun kenyataan yang kau hadirkan nanti . . . .

20 bulan ini, aku merasa sudah cukup mengubur impian-impian itu dalam-dalam. Aku mulai bisa menghadirkan dirimu sebagai seorang sahabat. Kau mungkin bisa merasakan itu. Tak ada lagi rasa gugup saat kita berbincang via telepon. Aku sudah berani membicarakan banyak hal yang dulu tak pernah ingin ku tanyakan. Termasuk bertanya kapan rencanamu untuk menikah. Berbincang denganmu, kini tak ubahnya berbincang dengan yang lainnya, Mengalir dan tak 'berhijab' lagi.

Besok atau lusa, kita akan bertemu. Begitu menurut rencanamu sebagaimana yang kau kirim lewat sms tadi. Kapanpun itu dan dimanapun itu, percayalah, aku akan datang sendiri. Impian dan harapan itu tak akan kubawa serta. Sekali lagi, mereka sudah terkubur jauh di dalam sana dan sudah ku kunci erat-erat.

Oh iya, dimasa mendatang, saat aku sudah menemukan 'DIA' yang akan menemaniku menemui batas usia, aku berjanji akan mempertemukan kalian. Aku sudah bisa bisa membayangkan itu, bertemu denganmu. Dan aku harap kau pun sudah bersama suamimu --siapa pun lelaki beruntung itu--

Besok atau lusa, aku akan menemuimu . . sebagai seorang SAHABAT. ^_^

0 komentar:

Posting Komentar