Jumat, 19 Maret 2010

Knight's Tale 3 : King Of Europe



“ . . Ibu, aku pulaaaang !!! ” teriak Pierre sesampainya di depan rumah. Setelah melepas sepatunya di depan pintu, dia langsung menerobos masuk hingga ke dapur dan menuangkan air ke dalam sebuah gelas.

“ . .kau terlambat pulang lagi hari ini. Sekarang apa alasanmu ?” Tanya ibunya sembari mengatur kayu api yang tengah terbakar di atas tungku dapur. Peluh bercucuran di hampir setiap bagian wajahnya

Pieree kecil tak segera menjawab. Dia tengah sibuk menenggak segelas besar air putih dengan begitu bernafsu. Nampak sekali dia dalam keadaan haus yang amat sangat. Glek . .glek .. glek . . .
“ pasti kau singgah bermain-main lagi di ladang jagung milik pak Lauren ? “.

“tidak . . .” jawab pierre sambil menyeka sisa air minum dipinggiran mulutnya.

“terus . . kenapa kau baru datang se sore ini . . ?” lanjut sang Ibu bertanya.

“ . . . . Usai belajar tadi, Pastur meminta kami untuk membantunya memotong semak-semak belakang Gereja. Dan kami pun melakukannya. Apalagi dia sudah berjanji jika kami mau membantunya, dia akan mengajak kami ke kebun Apel hari sabtu nanti. “ jawab Pieree sembari melepaskan tas kulit coklat yang sedari tadi menggantung dibelakangnya.

“Hmmm . .. ya . . sudah. Ibu kira kau pergi lagi ke tempat pak Lauren. Sekarang Cuci tangan, ibu akan menyiapkan makananmu.”

“ Tak perlu bu. Perutku sudah kenyang, karena tadi kami juga sudah diberi makan siang di rumah Pastur.“ Sahut Pierre.

“Ngomong-ngomong, Ayah kemana, bu ?” sambungnya

“Ada disamping, dia sedang memperbaiki kereta kuda kita. Coba Temui dia !!. mungkin dia sedang membutuhkan bantuanmu . .”. jawab sang ibu sambil terus mengawasi masakannya diatas tungku.

Tanpa diulangi, Pierre langsung berlari keluar, menemui ayahnya yang memang tengah sibuk mengutak –atik as roda kereta kuda milik mereka. Semalam, sewaktu baru pulang dari kota, kereta kuda itu secara tak sengaja terperosok ke dalam bekas galian batu, hingga salah satu as rodanya patah. Untunglah kejadian itu berlangsung hanya 50 meter menjelang rumah mereka.

“ Hai ayah !! . . ada yang bisa kau bantu .?” Tanya Pierre sembari membungkuk di samping ayahnya yang saat itu tengah menyetel baut-baut pada roda bagian kanan kereta tersebut.

“ Oh . .. kau. . .. . Tak perlu. Ayah sudah hampir menyelesaikannya” Jawab sang ayah sambil tersenyum kecil pada anak satu-satunya itu.

“hmm . . tunggu. Ayah butuh bantuanmu . . . Tolong jemput pulang domba-domba kita. Hari sudah sore. Kau tentu tidak ingin nasib domba-domba itu seperti yang dialami domba-domba milik keluarga Eric . . . habis di sergap Srigala.”

“ Okey . . Tak masalah . . “ sahut Pierre dengan bersemangat.

Diapun langsung berdiri, bergegas menuju tempat dimana domba-domba itu berada. Tak lupa dia bersiul dulu, memanggil Bruno dan Bleki, dua ekor anjing penggembala milik keluarga itu yang memang sedari tadi seperti sudah menunggu panggilan tugas rutin dari majikannya.

Pierre dan keluarganya, adalah satu dari sedikit orang yang tinggal di desa itu, desa Chaenten. Desa Chaenten terletak di bagian pesisir barat dari wilayah Cherbourg, Prancis. Penduduk desanya masih sangat jarang. Rumah mereka pun terpisah cukup jauh antara satu dengan lainnya. Semua mereka umumnya berprofesi sebagai petani. Hanya sebagian kecil diantaranya yang cukup beruntung karena memiliki ternak seperti Domba, sebagaimana keluarga Pierre kecil.

Domba-domba milik keluarga Pierre ini, setiap paginya memang dibiarkan saja berkeliaran bebas di sebuah bukit kecil di pinggi laut, yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah mereka. Bukit ini adalah salah satu tempat bermain favorit Pierre. Tempatnya memang sangat indah. Terdiri dari padang rumput hijau dan beberapa pohon yang rindang. Dari atas bukit ini, pemandangannya sangat leluasa.. Langit biru berhias awan yang selalu indah setiap dipandang. Ada lautan yang membentang luas dibawah sana. Serta semilir tiupan anginnya menyegarkan dan membawa jiwa pada tingkat ketenangan yang dalam. . . .amat dalam. Apalagi kalau datang pada sore hari, ada tambahan keindahan yang bisa dinikmati. Apalagi kalau bukan menyaksikan terbenamnya matahari di pelosok barat sana.

Itulah mengapa, Pierre selalu antusias kalau diminta ayahnya menjemput pulang domba-domba milik mereka. Menyaksikan matahari terbenam dan tenggelam ditelan lautan. Bagi dia, pemandangan itu tak pernah membosankan meski hampir tiap hari bias dilihatnya.

Dengan terengah-engah pierre kecil tiba ditempat itu. Bukit kecil tempat domba-dombanya bermain lepas. Dua ekor anjing gembalanya langsung menggonggong riuh saat melihat kawanan Domba itu. Membuat domba-domba yang sebelumnya terberai di beberapa tempat itu, langsung berkumpul menjadi satu.

“satu, dua, tiga, empat, lima, enam . . . . tujuh . . pas ”. Pierre langsung mengabsen semua Dombanya. Dia tersenyum puas. Jangan sampai ada yang kurang dan menjadi korban keganasan Srigala liar. Dan saat itu, semuanya lengkap.

Tapi Pierre kecil tak hendak langsung pulang. Dia ingin bermain-main dulu sejenak di bukit itu sambil menunggu matahari yang sebentar lagi tenggelam. Dia pun berjalan kecil menuju puncak bukit. Dari situ pandangan mata bisa lebih lapang ke arah lautan dimana matahari nanti akan tenggelam.

Dengan sedikit kelelahan, Pierre kecil akhirnya sampai juga ke puncak bukit itu. Saat memandang ke arah lautan, sontak dia terkejut. “Hah . .!!!”. matanya terbelak. Napasnya seakan tersumbat. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang . . . .Tubuhnya seolah membatu tak mampu digerakkan untuk sesaat. Tapi, tak lama kemudian dia berteriak keras: “ Ayaaaaaahhhhhhh . . . . .”. dan langsung berlari sekencang-kencangnya menuruni bukit kecil itu kembali ke rumahnya. Dua ekor anjing gembalanya turut serta berlari mengikutinya dari belakang, meninggalkan kumpulan domba yang terlihat turut panik itu.

Sepanjang jalan itu, Pierre kecil tak henti berlari pada kecepatannya yang paling maksimal sembari berteriak-teriak memanggil ayahnya. Entah kekuatan dari mana yang membuat anak kecil ini mampu berlari secepat itu dengan begitu stabilnya sampai ke rumah. Beberapa kali dia hampir terjengkang, namun bisa menguasai keseimbangannya. Kaki-kaki kecilnya terasa begitu ringan seakan-akan dia mau terbang dalam perasaan panik.

Dengan kecepatan seperti itu, Pierre kecil bisa tiba dirumahnya jauh lebih cepat dari yang sudah-sudah

“Ayaaaaaaaaahh . . !!!!”. teriak Pierre saat memasuki halaman samping rumahnya…

Mendengar teriakan Pierre, sang ayah yang barusan selesai memperbaiki roda kereta tersontak dan langsung berlari menyongsong anak kesayangannya itu.

“ada apa . . . ?”

“ mana domba-domaba kita ?”

“ Ada srigala yang menyerang mereka ?.“ tanya ayahnya, bertubi-tubi.

Dalam keadaan ngos-ngosan dan lelah. Pierre hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil menunjuk ke arah laut. Mulutnya seakan berat untuk bercerita. Entah berat, atau karena memang tidak tahu apa yang tengah terjadi disana, dilautan.

“ . . huhhh . . .se . . sebaiknya . . ayah . . ayah . . melihatnya sendiri . .” ucap Pierre kecil pada akhirnya dengan terbata-bata . .

Tanpa basa-basi lagi, ayah Pierre segera berlari ke arah kandang kuda mereka, dan mengeluarkannya. Kuda ini biasanya hanya digunakan untuk dipasang di kereta. Tapi karena kereta baru saja mengalami kerusakan, maka kudanya pun dilepas dulu.

Dengan terburu-buru ayah Pierre memasang pelana dan tali penghela kuda itu lalu langsung menaikinya.

“ Ikutlah !! ibu sedang tidak dirumah. Dia pergi mengambil air di sumur.”. Kata sang ayah pada Pierre kecil yang sedari tadi terlihat belum lepas dari kelelahan dan keterkejutan.

Dengan bantuan sang ayah, Pierre langsung turut naik ke atas kuda itu, yang segera dipacu berlari menuju ke bukit tadi.

Sesampainya di kaki bukit itu, ayah dan anak itupun langsung turun. Pierre kecil menunjuk ke arah puncak bukit. kuda tunggangan mereka di biarkan saja terlepas dan langsung menikmati rumput segar di bukit itu. Bergabung dengan kawanan domba-domba milik Pierre. Sementara mereka, Pierre dan ayahnya, langsung bergerak, berlari menuju ke puncak bukit.

“Lihat itu . .. . .!!!” tunjuk Pierre ke arah lautan saat mereka tiba di puncak bukit itu. . . .

“ Kenapa banyak sekali perahu dan kapal di sana . .?”

“Siapa mereka . . .” kini giliran Pierre kecil yang menyorongkan pertanyaan bertubi-tubi pada ayahnya yang tengah terperanjat.

Ayahnya sendiri tak kalah shock dengan apa yang barusan dan tengah dilihatnya. Napasnya serasa memberat. Bulu-bulu nyawanya berdiri, menegang . . . .

Setelah beberapa menit, perlahan dia akhirnya mampu menguasai diri. Napasnya mulai teratur. Ketegangan yang tadi dia rasakan, perlahan mulai berganti dengan ketakjuban dan kekaguman atas apa yang tengah dilihatnya dibawah sana, di arah lautan. . . Saat ratusan kapal dari berbagai jenis dan ukuran tengah berlayar mendekati bibir pantai Cherbourg, tempat mereka. Sulit untuk menghitung berapa jumlah pastinya, karena memang sangat banyak. Bahkan birunya lautan saat itu tertutupi oleh warna dominan merah yang menghiasai setiap Kapal tersebut. Semua kapal-kapal tersebut memang memiliki layar berwarna merah dengan variasi warna kuning. Sangat mencolok mata. Sungguh, ini pemadangan yang luar biasa. Dan Ini, untuk kali pertamanya mereka melihat pemandangan megah seperti itu. Lautan biru itu seolah berubah menjadi karpet merah raksasa dengan titik kecil berwarna kuning yang menghiasi beberapa bagiannya.

Di bawah pantai sana memang ada sebuah pelabuhan tua, yang dulu ramai dengan kapal-kapal dagang. Tapi entah kenapa aktifitas di pelabuhan itu berangsur berkurang dan menyusut, hingga saat ini Cuma pelabuhannya saja yang tersisa dan terbengkalai. Sewaktu kecil dulu, ayah Pierre masih mengalami saat pelabuhan itu tengah ramai-ramainya. Dia kerap melihat kapal yang lalu lalang dalam jumlah banyak. Tapi sebanyak-banyaknya kapal yang pernah dilihatnya saat itu, tidak sebanyak sekarang, yang saat ini tengah berlayar mendekati pantai Chaerbourg. Mungkin puluhan kali lipat lebih banyak jumlahnya. Apalagi dengan warna Merah yang seragam. Semakin mengundang ketakjuban bagi siapapun yang melihatnya.

Setelah mengamati lebih jelas bendera besar yang terpasang di salah satu Kapal, ayah Pierre pun menarik nafas panjang sembari berbisik lirih :

“ Pasukan Old Trafford yang Maha agung. Apalagi yang menuntun mereka untuk datang kemari, ke daratan Eropa. . .“

“ Siapa mereka, ayah ?. . apakah mereka berbahaya . .? . . aku takuuuuut . . !!!!” ujar Pierre kecil

sedari tadi belum lepas dari kebingungan dan kecemasan. Dia lalu memeluk ayahnya untuk menunjukkan ketakutannya. Air matanya perlahan mulai menetes.

Sang ayah, yang mengetahui ketakutan dan kecemasan anaknya, langsung menenangkan Pierre.
“ Sudah . . tak usah takut. Mereka bukan orang jahat . . . . “. Ujarnya tersenyum seraya mengusap-usap kepala Pierre dan menyeka air mata anaknya itu.

Dia lalu berjongkok hingga wajahnya tepat bertatapan dengan bocah berusia 11 tahun itu.

“ Dengarkan ayah !!! . . . mereka itu adalah para pasukan dan Ksatria yang saat ini menjadi penguasa Eropa. Mereka adalah raja di tanah Inggris nun jauh di seberang lautan sana, sekaligus pemuncak disini, di daratan eropa yang kita tinggali ini. . . . saat ini, mereka adalah penguasa kita. Mereka orang-orang yang dihormati di seantero jagad ini . . . .” jelas ayah Pierre kepada anaknya dengan lembut.

Entah Pierre kecil paham atau tidak dengan penjelasan ayahnya. Ayahnya mungkin tidak peduli itu, karena mungkin saja dia tadi hanya mengeluarkan bahasa-bahasa ketakjubannya pada pemandangan megah yang baru dilihatnya tadi. Tanpa peduli apakah si anak mengerti tentang bahasanya atau tidak.

“ Nah, sekarang kau tak perlu takut. Mereka orang yang baik . . . . “

“ hmmm begini,…….Ayah akan naik memberitahu orang-orang tentang hal ini, dengan menunggangi kuda tentunya. Dan ayah minta bantuanmu untuk membawa pulang domba-domba kita. . . . Bruno dan Bleki akan menemanimu. Bisa kan ?” Pinta sang Ayah pada Pierre sambil menatap sayang pada pada mata sang anak.

Pierre kecil hanya mengangguk . . . . .

“ingat . . langsung pulang, dan jangan buat panik ibumu . . .okey .”

Untuk kedua kalinya Pierre mengangguk.

Setelah mencium kening anaknya, ayah pierre langsung bergegas menuruni bukit itu menjumpai kuda tunggangannya. Dari atas kuda, dia menyempatkan berteriak pada Pierre yang masih termangu diatas bukit itu.

“ Pierre . .!!!!! cepat pulang . . .!!!!.” Teriak ayahnya yang kemudian langsung memacu tunggangannya menuju ke Kota.

Pierre kecil tak menjawab lagi. Dia kembali memandang ke lautan lepas yang tengah me-Merah itu. Merekam pemandangan yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Sesuatu yang lain dan lebih besar dari yang pernah dia nikmati sebelumnya . . . . .

Tapi, masih ada yang mengganggu pemandangannya saat itu dan meninggalkan kecemasan dihatinya serta membuatnya sedikit takut. Itu karena sebuah gambar yang terlihat di bendera pada setiap kapal : Setan kuning yang tengah memegang Trisula.

***

Sementara itu nun jauh di lautan sana, puluhan perahu kecil terlihat keluar dari perut beberapa kapal besar dan meluncur dengan lincahnya ke bibir pantai. Mereka akan menjadi perintis dan pembuka ruang di pinggir pantai, sebelum pendaratan pasukan dan logistik besar-besaran dilakukan nantinya.

Tak lama berselang, dua bendera raksasa berwarna merah bergambar setan memegang trisula sudah terpancang di tepi pantai itu, dengan jarak antara keduanya hampir mencapai 2 km. Satu disebelah selatan, dan satu lagi disebelah utara. Bendera raksasa itulah yang nanti akan menjadi pemandu batas terluar dari lokasi pendaratan pasukan dan logistik. Dan dalam radius 2 km itu, pasukan Old Trafford akan membangun tempat berpijak awal mereka di daratan Eropa.

Beberapa orang berjubah perang warna merah juga sudah tampak berada diatas pelabuhan tua yang teronggok lusuh dipantai itu. Mereka tengah memeriksa beberapa bagian dari pelabuhan tersebut, untuk mengetahui kelayakannya sebagai tempat bongkar-muat logistik nantinya.

Pierre kecil masih mengamati semua aktifitas itu dengan begitu jelasnya, dari atas bukit dimana saat ini dia berdiri dan terpana. Tapi dia masih bingung dan tidak paham sepenuhnya dengan apa yang terjadi dibawah sana. Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya, para Ksatria The Reds Devil’s Army akhirnya tiba di daratan Eropa, dalam sebuah perjalanan untuk menunaikan tugas mereka : MEMPERTAHANKAN TAHTA YANG TENGAH TERGUGAT.

AND THE EUROPEAN INVASION . . BEGIN !!!!!
(be continued . . .)

0 komentar:

Posting Komentar