Jumat, 19 Maret 2010

Titian Muhibah KL



. . . . . Lampu yang tiba-tiba dinyalakan berhasil mengembalikan kesadaranku. Sementara para penumang lain mulai riuh dan terlihat sibuk dengan berbagai hal. Terkecuali bapak yang duduk tepat disamping kanan saya. Saya menangkap dia tengah serius melongok ke arah luar jendela yang terletak di samping kiri saya. Matanya nyaris tak berkedip dengan kepala yang mendongak tegang. Memang, dari posisinya itu, butuh sedikit perjuangan untuk bisa melihat pemandangan di luar jendela. Kepala harus dijulurkan lebih panjang. . . . . Tak lama kemudian pengeras suara yang terletak tepat diatas kepala saya memperdengarkan suara dari pramugari pesawat Air Asia yang tengah mengangkut kami pada waktu itu. Pemberitahuan dari pramugari itu dilaukan dengan dua bahasa. Pertama dengan menggunakan bahasa Melayu --sebagai tempat asal Maskapai ini-- dan kemudian bahasa Inggris yang merupakan bahasa Internasional. Saat menggunakan bahasa Melayu, saya kurang bisa mengerti apa yang diucapkan oleh pramugari itu. Bicaranyanya terlalu cepat, sehingga hanya sedikit kosa kata yang berhasil kutangkap dan kupahami. Dan lagi, suara yang keluar via pengeras-nya terdengar sengau dan tak begitu jelas artikulasinya. Nanti setelah pengumuman berbahasa Inggris dilakukan, baru saya mulai memahami apa yang disampaikan. Bahwa dalam 10 menit ke depan, pesawat kami akan segera mendarat di bandara Internasional Kuala Lumpur. Dan akhirnya saya baru tahu apa kenapa Bapak yang duduk disamping saya itu terlihat begitu serius memandang ke luar jendela.

Dibawah sana, pemandangan malam kota Kuala Lumpur dari atas langit terlihat begitu menakjubkan. Germerlap lampu berwarna kuning dan putih terhampar bagai butiran emas yang mengkilat-kilat. Dan Hamparan lampu itu tersusun begitu rapihnya. Di beberapa tempat, lampu-lampu itu terbentuk dalam beragam pola yang teratur.

Segera, saya pun mulai merapihkan semua barang bawaan sekaligus melengkapi beberapa formulir yang nantinya akan diperiksa saat tiba di bandara Kuala Lumpur. Termasuk diantaranya formulir kesehatan. Keberadaan formulir kesehatan ini terkait dengan merebaknya virus flu babi di beberapa negara asia dan Amerika utara serta Australia. Lembaran formulir ini sebenarnya sudah dibagikan sekitar 1 jam yang lalu, sebelum saya kemudian tertidur. Cuman saya tak segera mengisinya. Rasa kantuk yang amat sangat, membuatku abai terhadap kewajiban itu. Formulir itu sendiri terdiri dari beberapa bagian. Tapi karena saya berasal dari Indonesia, negara yang belum menjadi pandemi flu babi, maka saya tak perlu mengisi terlalu banyak. Cukup dibagian pertama saja. Karena bagian-bagian selanjutnya itu dikhususkan bagi mereka yang berasal dari negara yang sudah menjadi pandemi virus H1N1 tersebut.

Beberapa saat berselang, pesawat mulai menyentuh landasan. Pemandangan Bandara Internasional Kuala Lumpur terpampang di depan mata. Salah satu bandara termegah di dunia dengan ratusan kapal Internasional yang terparkir di beberapa titiknya. Lambang besar Petronas (perusahaan minyak asal negeri Jiran tersebut), yang terletak di samping landasan pendaratan seakan turut mengucapkan selamat datang kepada kami. Petronas memang telah menjadi ikon penting bagi Malaysia. Sebuah perusahaan milik negara yang telah menancapkan namanya hingga tenar ke taraf dunia. Logonya hadir diantara mobil-mobil F1 yang tengah melaju kencang, liukan-liukan maut para pembalap Moto GP, Hingga kemuadian menjelmakan diri menjadi dua menara Sky Crapers tepat di jantung kota Kuala Lumpur (KL). Saya tiba-tiba ingat, kalau kita di Indonesia juga punya perusahaan yang sama, yang memiliki kuasa mengelola kekayaan minyak bumi di wilayah negara Indonesia. Namanya kalau tidak salah... PERTAMINA. Cuma memang, tidak ada yang bisa diperbandingkan antara Pertamina dengan Petronas. Terlalu jauh perbedaannya. Petronas terlalu superior. Satu-satunya kebanggaan Pertamina jikalau harus diperbandingkan dengan Petronas adalah bahwa dulu orang-orang Petronas banyak belajar mengelola manajemen perminyakan dari Pertamina. Tapi itu dulu.... dulu sekali...

Penerbangan ke Malaysia dengan menggunakan pesawat Air Asia ini membawa keberuntungan sekaligus ketidakberuntungan. Beruntungnya adalah karena Air asia adalah satu-satunya maskapai yang memiliki lokasi 'terminal bandara-nya' sendiri yang tidak bergabung dengan maskapai lainnya. Jadi, kita tidak perlu harus berjubel dengan ribuan penumpang dari maskapai lain. Cuman, ketidakberuntungannya adalah bahwa kita tidak dapat menikmati kemegahan terminal utama Bandara Internasional Kuala Lumpur yang terkenal itu. hikzz..ikzz..hikzz. Terminal khusus air Asia ini memang sangat sederhana, dan serba manual. Sementara di terminal utama Kuala Lumpur Airport semuanya berlangsung secara otomatis dengan kecanggihan teknologi. Disana kita tak perlu berjalan dan menyeret-nyeret tas serta barang bawaan kita. Ini karena disana banyak terdapat 'lantai bergerak' atau ekskalator datar.

Sebagaimana terminal internasional lainnya, banyak sekali prosesi 'penyambutan' yang harus kita lalui untuk sepenuhnya bisa menembus masuk ke Kuala Lumpur. Salah satu diantaranya adalah pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi para pelancong yang terjangkit wabah flu babi dengan menggunakan sensor suhu badan. Beberapa keterangan dan surat pernyataan juga wajid kita isi di bahagian ini. Selanjutnya, Petugas imigrasi akan menjumpai kita. Loket pelayanan imigrasi di terminal khusus Air Asia ini ada banyak. Mungkin ada sekitar 20-30 loket. Tapi karena saat itu sudah tengah malam, maka loket yang ber-petugas mungkin hanya sekitar 10 loket. Yang lainnya nampak kosong. Namun begitu, ke-10 orang yang melayani ini sudah cukup untuk membuat kita tidak perlu repot untuk lama ber-antri.

Alhamdulilllah...tidak ada masalah saat harus berhadapan dengan petugas imigrasi yang ber-wajah India itu. Saya pun diperkenankan masuk ke negara itu dengan masa kunjungan dibawah 30 hari. Masalah justru datang menjumpai Muthia, anak perempuan Prof Nurhayati (ibu Nur) yang mengajak saya ikut dalam perjalanan ini. Saat ditanya oleh petugas, Muthia menyebutkan kalau dia datang sebagai pelajar, tapi tidak bisa menunjukkan bukti penerimaan oleh institusi di sini. Muthia sendiri memang belum sepenuhnya di terima oleh University Of Malay, tempat kuliah tujuannya, tapi baru berupa ditawarkan untuk bergabung disitu. Dan surat penawaran itu dikirimkan melalui e-mail yang tidak sempat diprint-out. Kamipun tertahan sejenak. Muthia harus berurusan bagian imigrasi Malaysia. Dia dicurigai hanya menggunakan alasan sekolah untuk tujuan bekerja. Salah satu jalan keluar-nya, kami harus bisa menunjukkan surat penawaran itu. Masalahnya, petugas imigrasi setempat seakan enggan memberikan kesempatan bagi Muthia untuk menggunakan fasilitas I-net di tempat itu. Padahal surat tawaran itu tersimpan dalam account e-mailnya.
. .
Saya pun diminta Ibu Nur untuk mencari I-net yang ada di dalam lokasi bandara. Setelah berputar-putar di dlam bandara itu, saya tidak sedikitpun menemukan tanda-tanda adanya fasilitas warnet di dalam bandara ini. Saya pun mencoba masuk ke ruang Polis Diraja Malaysia. Oleh mereka, saya diinformasikan bahwa ada fasilitas wi-fi di bagian luar bandara. Yaitu di Mc Donald dan coffe shop Rainbow. Masalahnya kemudian, walaupun ada wi-fi disana bagaimana dengan printer-nya ? Saya tidak yakin kalau mereka juga memiliki fasilitas itu. Lagipula dua tempat itu berada diluar terminal kedatangan. Jika saya keluar nantinya, mungkin akan kesulitan untuk masuk lagi. Saya sebenarnya sudah mencoba untuk meminjamm fasilitas I-net di kantor polis Malaysia itu. Namun mereka tidak mengizinkannya dgn beralasan "Tidak ada fasilitas I-net" disana. Wajah mereka cukup ketus saat itu. Konon, ini tampilan wajar mereka saat berhadapan dengan orang-orang dari Indonesia. Dan saya sudah mendengar banyak tentang ini. Segera saya meninggalkan tempat itu.

. . Dengan membawa kegagalan saya pun kembali ke Ibu Nur yang menjaga tas bawaan kami selama saya pergi menemukan I-net. Beliau mulai terlihat panik dengan keadaan ini. Apalagi saat melihat saya datang tanpa keberhasilan . . . . .

Beliau terlihat pasrah. Dan dengan sedikit harapan beliau kembali menuju ke bagian Imigrasi, menjumpai Muthia yang masih tertahan disana dan meninggalkan saya utnuk mengawal barang-barang bawaan kami. Saat itu, rasa kantuk mulai menghinggapi saya dan ingin rasanya saya membaringkan badan di kursi tunggu nan panjang ini. Tapi karena melihat petugas security-nya yang tak berhenti bolak-balik di sekitar situ, niat itupun saya enyahkan. Saya hanya terduduk pasrah di kursi itu sambil menyaksikan ratusan pelancong dari negara lain memasuki wilayah kerajaan Malaysia. Sempat ada kejadian unik saat seorang wisatawan bertubuh pendek dan gemuk berteriak-teriak di sekitar pelayanan Imigrasi itu. Tak jelas siapa yang tengah di teriaki-nya. Tapi yang jelas dia terlihat marah-marah sambil sesekali mengepalkan tangannya ke udara. Tak ayal, aksinya itupun mendapat teguran keras dari petugas imigrasi disitu. Ratusan orang dari berbagai negara yang tengah berada di tempat itu juga langsung melihat ke arahnya. Beberapa dari mereka terlihat menggeleng-gelengkan kepala. Setelah ditegur dan tersadar kalau dia sudah menjadi perhatian umum disitu, pria itupun segera meredakan suaranya dan meminta maaf sembari memegang dadanya ke arah semua. Dari dialek dan tampilannya saya menduga dia berasal dari negara asia tengah. Kalau bukan Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakstan atau yang lainnya . . . . (saya langsung ingat tokoh gokil . . . Borat).

. . Usai 'pertunjukan' dari pria tadi, Ibu Nur dan Muthia pun datang menjumpai saya. Syukurlah, petugas imigrasi itu ternyata mau kemudian memberikan kompensasi pada Muthia. Mungkin mereka sudah yakin kalau Muthia ini datang dengan status pelajar, bukan un tuk bekerja. Dan mungkin juga setelah ibu Nurhayati memperkenalkan dirinya yang sudah seringkali menjadi pembicara tentang Melayu di berbagai forum dunia termasuk di Malaysia. . . . .

Dan kamipun akhirnya bisa sepenuhnya masuk ke Malaysia yang 'Truly Asia' ini . . . . . . . . . . . . . .

0 komentar:

Posting Komentar