Jumat, 19 Maret 2010

Meet Him . . .



. . Akhirnya aku tiba juga di tempat itu. Sebuah rumah dengan model arsitektur tahun 1800-an, namun sudah tersentuh modernitas di sejumlah sudutnya. Pintunya terbuka lebar, seakan memang telah menungguku sedari tadi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, akupun segera bergegas menghambur ke dalamnya. Di luar sini, suhu dingin amat sangat menusuk. Terlebih untuk tubuh tropis-ku. Cuaca di ibukota Inggris ini memang tengah ganas-ganasnya. Musim dingin terburuk dalam beberapa tahun terakhir, begitu sebagian orang menganggap. Dan itu benar. Beberapa waktu lalu, sejumlah peTambah Gambarrtandingan sepakbola di negeri ini ditunda karena suhu dingin yang ekstrim. Di negeri yang ini, penundaan seperti itu sudah bisa menjadi alat ukur untuk menilai 'seberapa gawat' suasana yang terjadi. Sepakbola, memang sudah menjadi hadir sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakatnya. Bagaimanapun, dan apapun keadaannya, pertandingan sepakbola sebisa mungkin harus tetap digelar.

Masuk ke dalam rumah itu, tak ada seorang pun yang terlihat. Suasananya begitu hening, namun hangat tentunya. Di dinding tepat di sisi kananku terlihat sebuah bel gaya klasik. Segera, bel itu kutekan dan menghasilkan bunyi yang cukup riuh. Sekali . . . dua kali, belum ada yang nampak keluar dari dalam rumah. Nanti saat aku hendak memencet untuk yang ketiga kalinya, seorang lelaki berusia setengah baya keluar dan menyambutku hangat. Tubuhnya terlihat sedikit membungkuk. Saat itu dia mengenakan jas layaknya seorang pelayan restoran. Jas berwarna hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Rambutnya sudah diliputi uban dan nyaris tak ada warna hitam yang terlihat.

"Jun . . .?? " tanya lelaki tua itu sembari mengancungkan setengah telunjuknya dengan sopan

Aku tak lantas menjawab, hanya mengangguk pelan sambil berupaya tersenyum. Hawa dingin saat itu membuat bibirku kelu dan agak susah untuk digerakkan. Rahangku pun ber gemeretak turun naik. Lelaki tua itu ternyata menangkap pesan yang jelas bahwa aku sedang kedinginan saat itu.

" ayo, sini. Masuklah . . !!. Dia sudah menunggumu sedari tadi . ." Ujar lelaki tua itu. Dia lalu menyalamiku dan lekas-lekas menutup pintu yang terbuka lebar dibelakangku.

Beberapa saat setelah pintu itu ditutup, aku mulai merasa hangat. Rumah itu memang dilengkapi dengan alat pemanas ruangan, walaupun juga ada tungku api di sebuah sisinya. Tapi menurutku, tungku itu tidak lebih sebagai sebuah penghias, agar suasananya terlihat lebih elegan dan eksklusif.
Setelah yakin akan keadaan suhu di dalam rumah itu, akupun memberanikan diri untuk membuka mantel-ku. Begitu juga sarung tangan berlapis 6 yang sedari tadi kukenakan.

Lelaki tua itu lalu mengajakku mengikutinya. Dia menuntunku menuju ke tangga kayu yang menghubungkan lantai ini dengan lantai-lantai lain diatasnya.

" Ikuti saja tangga ini, dia ada di lantai paling atas . . " .
Sejenak aku melihat ke lelaki tua itu. Bertanya dalam hati kenapa dia tak mengantarku sekalian hingga ke lantai yang di maksud. Tapi dia hanya mengangguk pelan, seolah meyakinkanku bahwa aku sendiri bisa menemukan tempat itu.

" Naiklah, Aku akan menyiapkan minuman hangat untuk kalian . . ". hanya itu kalimat yang diucapkannya, lalu pergi meninggalkanku di depan tangga naik.

Prok . .prok . prok . . suara langkahku terasa memberat saat memijak satu demi satu tangga kayu itu yang terlihat anggun itu.

Sesampainya di lantai teratas, aku melihat dia, orang yang ingin kutemui itu, 0 tengah berdiri menghadap keluar jendela. Jendela tersebut berukuran amat sangat besar, sehingga pandangan kita bisa sangat leluasa. Dari atas sini, tampilan kota London bisa terlihat jelas. Namun sayang, salju yang tangah turun membuat warna yang dominan hanya putih belaka.

" Bagaimana perjalananmu . . ?? " nampaknya dia menyadari kedatanganku dan langsung membuka pertanyaan. Tapi dia masih tetap disitu, berdiri membelakangiku dengan tatapan tajam keluar jendela.

Perlahan aku berjalan mendekatinya, sembari melihat-lihat suasana ruangan itu.

" kau pasti sudah tahu. Bagi orang dari daerah tropis macam aku, perjalanan ini pasti tidak begitu menyenangkan." jawabku sembari menatap sekeliling ruangan.

Tepat disampingnya, ada sebuah meja yang di dampingi dua kursi yang sekilas nampak seperti kursi malas. Kedua kursi itu juga menghadap keluar jendela. Aku sudah membayangkan, betapa nyamannya duduk dikursi itu, melihat pemadangan diluar sana dan menyeruput secangkir kopi hangat.

" Hmm, Saya masih tak habis pikir. Kenapa kau mau datang kemari hanya untuk menemuiku di saat-saat seperti ini, sementara ribuan orang disini tengah melancong ke berbagai negara tropis untuk menikmati hangatnya sinar matahari ? " Tanya dia lagi . . . Kami masih belum bertatapan sejauh ini.

" Kalau misalnya aku balik bertanya, kenapa kau sendiri tidak turut dalam ribuan orang itu untuk pergi berlibur barang beberapa hari ? Pihak manajemen pasti akan memberikan izin untuk mu. Saya sudah mendengar kalau kau memiliki kekuasaan yang khusus disini " Aku balik bertanya

" Kau benar. Aku pasti bisa melakukankannya. Tapi aku tak mau meninggalkan tim dalam keadaan berantakan seperti ini. Tim ini sudah menjadi bagian dari hidupku dan aku sangat mencintainya . ." jawabnya tegas

"Nahhh . . kalimat terakhir itu. Seperti itu pula kira-kira jawabanku atas pertanyaanmu tadi . ." Sambarku pasti. Saat itu aku sudah tepat berada disisinya, menghadap keluar jendela dimana salju masih turun satu-satu.

Dia langsung tersenyum mendengar jawabanku . . dan melihat ke arah ku untuk pertama kali dan menjulurkan tangan.

" Alex Ferguson . ." Ujarnya menyebut nama. Walau sebenarnya tak perlu, karena aku telah mengenalnya sebegitu lama.

" Jun . dari Indonesia " . balasku . . .

" duduklah, kita berbincang-bincang sejenak . ." Dia menawarkan tempat duduk itu, tempat yang sedari tadi sudah kuharapkan . . .

..........................
........... Be continued !!!

0 komentar:

Posting Komentar