Jumat, 19 Maret 2010

. . . . In to the Depth Of Toraja II



Sebelumnya................


.....Tak lama kemudian seorang pria tua datang menghampiriku. Dia memakai jas hitam dengan kancing-kancing berwarna emas terang. Tangannya dia julurkan untuk memberi salam. Segera kusambut hangat dengan segaris senyum di wajah. . . . . . Akupun bertanya-tanya.. siapa orang ini...?.........

. . . . . "Mungkin inilah yang bernama Pong Barumbun" pikirku. Memang, aku belum pernah sekalipun melihat wajah ketua adat itu. Memilih dia sebagai salah seorang informan adalah rekomendasi dari seorang teman asal Toraja. Saat itu, teman saya ini tengah mengurusi perizinan dan rekomendasi sebuah kegiatan pertemuan para tetua adat 'Toraja bertajuk Kombongan Kalua' Sang Torayaan'. Acara ini bermaksud untuk menggali kembali budaya asli Toraja yang dianggap sudah banyak melenceng karena tergerus zaman. Nah, dalam acara itu, Pong Barumbun ini adalah 'otak' sekaligus katua panitia-nya.

Usai bersalaman, sosok berjubah hitam itupun memperkenalkan diri, bahwa dia adalah salah satu pengurus Gereja setempat. Sebagai tamu, kami disambut dengan keramahannya. Saya pun memperkenalkan diri dan menjabarkan maksud kedatangan saya. ...upss Tapi ternyata pendengarannya tidak berjalan sebagaimana normalnya. Jadi saya harus sedikit berteriak saat bercakap-cakap dengannya. Dia lalu duduk tepat disampingku dan kami pun berbincang-bincang tentang banyak hal. Lumayan, ada sedikit informasi yang kudapatkan tentang ritual adat yang tengah berlangsung di tempat itu, tepat didepan saya.
Beberapa saat kemudian ada yang yang memanggil bapak ini, dan dia harus beranjak pergi. Saya pun mengucapkan terima kasih atas sedikit informasi yang di berikannya. Eh, sebelum pergi dia sempat mengundangku untuk mengikuti Ibadah Sore yang akan dipimpinnya nanti. Saya hanya tersenyum sambil mengancungkan jari jempol kanan ke arahnya... "Siiiippppp !!!!!".

Setelah dia berlalu, saya memutuskan untuk berjalan-jalan melihat acara adat ini dan mencari dimana Yudha, fotografer itu, berada. Wahh...... ternyata dia lagi ngobrol dengan dengan dua gadis remaja disamping kanan rumah ini. tiba-tiba ada sebuah bisikan halus melintas di telingaku... " Susah ko cess, Yudha mo dilawan..!!". Saya pun mendekati mereka yang terlihat serius membicarakan sesuatu. Yudha lallu memperkenalkanku ke kenalan baru-nya itu. Ternyata salah satu diantara mereka --yang bernama Keisha-- berasal dari Poso, kampung halamanku. Sementara yang lainnya, saya lupa namanya, adalah sepupunya yang berasal dari Masamba.

Mereka berdua ini baru tiba tadi pagi dengan mobil Nissal X-trail yang dikemudikan oleh ibu-nya Keisha, Woowww (super woman neeh...) Dan yang meninggal ini adalah paman dari ibunya si Keisha. Ayah Keisha tak bisa ikut karena harus mengurusi berbagai usaha keluarga mereka seperti Toko, warung makan, empang sekaligus juga mengawasi sebuah proyek pembangunan jalan. Mendengar itu saya langsung berguman ".. Hmm, tajir juga nih anak..". Secara fisik, tampilan si Keisha ini cukup menarik. Posturnya tinggi dengan badan yang padat berisi. Rambutnya sebahu dengan wajah innocent dan sedikit lugu. Kulitnya juga putih bersih (hasil keturunan ayahnya yang Cina-Mori). Pada awalnya, postur tinggi besar yang dimiliki si Keisha membuat saya beranggapan kalau dia itu anak kuliahan. Ternyata, menurut pengakuannya dia masih duduk di bangku SMP dan baru naik kelas 2. Astaga...!!!! ( Pasti bibit bangkok ini...)

Saat tengah ngobrol dengan mereka, istri Pong Barumbun mendatangi kami dan memberitahukan kalau suaminya sudah datang di pesta kematian itu. Obrolan kami pun terhenti. Dan kami segera bergerak mengikuti istri pong Barumbun yang menuntun kami menuju dimana suaminya berada.

. . . . "Akhirnya ketemu juga". Begitu gumanku saat akhirnya pertama kali dipersalamkan dengan Pong barumbun ini. Seperti biasa, saya pun memperkenalkan diri dan memaparkan maksud kedatangan saya jauh-jauh dari Makassar. Dia lalu mengajak kami masuk ke sebuah Lantang (pondok tempat penyambutan tamu) untuk melakukan wawancara disana.

Sebelum wawancara itu dilakukan, Pong Barumbun ini juga memperkenalkan sedikit tentang dirinya. Menurut pengakuannya, sebagai ketua adat Toraja dia sudah seringkali diwawancarai oleh media. Baik cetak maupun elektronik, dari dalam dan luar negeri. Dia juga pernah tinggal cukup lama di Geneva, Swiss. Saat itu dia diperbantukan di atase kebudayaan kedutaan besar Indonesia disana. Dari gaya bicaranya memang cukup terlihat kalau dia ini cukup terpelajar dan paham banyak tentang budaya Toraja. Apalagi pada tataran makro. Saat itu kita banyak berbincang tentang kebudayaan asli Toraja yang perlahan mulai tergeser oleh keberadaan Agama Kristen. Sebagai ketua adat (disana disebut parengnge') dia kerap berbenturan dengan pihak gereja dan pemerintah setempat saat harus mengawal kemurnian tradisi Toraja yang dipahaminya.

Wawancara dan bincang-bincang kami ini berlangsung sekitar satu jam. Saat itu hari sudah sore. Karena merasa apa yang ingin kutanyakan sudah terjawab, maka kamipun segera pamit. Tapi sebelum itu, Yudha menawari dia untuk di foto terlebih dahulu. Dia pun mengiyakan. Malahan dia ingin di foto dengan mengenakan baju ketua adat kebesarannya, yang berwarna putih-putih. Oh iya,.. warna jas putih yang disandingkan dengan sarung putih menunjukkan posisi tertinggi dalam kasta adat di Tana Toraja. Orang yang mengenakan seperti itu pastilah memiliki kedudukan dan pengetahuan yang tinggi tentang adat secara keseluruhan.
Saat diwawancarai tadi, dia sempat mengungkapkan kejengkelannya karena saat ini banyak orang yang sembarangan mengenakan sarung putih pada saat pelaksanaan upacara adat, padahal mereka bukan seorang petinggi adat. Menurutnya, inilah salah satu bentuk pelanggaran dan penyimpangan dalam kebudayaan Toraja. Yaitu menghilangnya rasa hormat orang terhadap sakralitas simbol-simbol adat semacam sarung putih itu.

'Sesi Foto' bersama sang ketua adat ini dilakukan didepan rumahnya, tepat di sebuah Tongkonan. Beragam gaya dan pose diambil oleh Yudha, sang fotografer. Usai itu, giliran sang anak perempuan yang diambil gambarnya. Fajar, gadis manis itu, nampak tak malu-malu saat Yudha menjepretkan kamera tepat di depannya. Saat diminta tersenyum, dia patuh dan melaksanakannya. Sayang, walau sudah tersenyum gayanya tetap statis dan tak berubah.

Usai sesi foto, kami pun pamit pulang. Tak lupa mengucapkan banyak terima kasih atas waktu yang sudah dia luangkan. Pong Barumbun pun demikian. Dia berterima kasih dan meminta maaf karena tidak bisa memberikan apa-apa selain informasi. Dia juga mempersilahkan kami untuk menghubunginya jika saja masih ada informasi yang ingin didapatkan dari dia. . . . . . . .

And Then We Ride Home.........................!!!!!!

Puas juga akhirnya kita bisa merampungkan target wawancara di daerah pedalaman yang jauh. Perjalanan pulang kami sempat disambut oleh hujan ringan, namun tidak banyak mengganggu. Sekali lagi, perjalanan pulang ini masih disuguhi oleh pemandangan yang menawan. Bias cahaya setelah hujan yang menyisip perlahan diantara awan, jatuh dengan lembutnya diatas sawah-sawah yang basah. Sawah-sawah berwarna hijau muda itupun seakan bercahaya terang, karena pantulan dari air yang masih tersisa di dedaunannya. Sayang, karena target pemberhentian berikutnya sudah ditentukan, maka kami tak bisa menikmati pemandangan itu.

Target kami itu adalah sebuah perkuburan batu yang berlokasi di daerah Kete' Kesu. Sebenarnya, aku sudah pernah mengunjungi tempat ini bersama rombongan Diklat Jurnalistik Tingkat Nasional yang dilaksanakan oleh Kompas dan Identitas beberapa tahun lalu. Begitupun dengan Yudha, dia juga sudah singgah kemari bersama teman-temannya dari UKM Fotografi UNHAS. Tapi tak apalah, sayang kalau kita harus melewatkannya. Toh tempat itu tidak terlalu jauh dari jalur yang memang kita akan lewati.

Masuk ke Kete' Kesu ini harus membayar retribusi sebesar 5 ribu rupiah per orangnya. Sebelum menjumpai kuburan batu itu, kita akan disambut oleh deretan Tongkonan atau rumah khas Toraja. Saat itu, mungkin hanya kita yang menjadi pengunjung. Selebihnya adalah warga setempat. Keinginan Yudha untuk memotret barisan Tongkonan itu terganjal oleh tenda pernikahan yang terpancang di salah satu Tongkonan. "Merusak suasana keasliannya" tutur Yudha. Menurut anak-anak setempat yang menemani kami, tempat itu memang sering menjadi tempat pelaksanaan pernikahan yang dilaksanakan oleh warga sekitar.

kamipun meneruskan perjalanan menuju ke areal perkuburan batu. Tempat itu berupa tebing cadas yang dibeberapa tempatnya ada beberapa kayu yang dibuat semacam perahu dan berisi tengkorak manusia. Jumlahnya banyak sekali. kayu-kayu ini diletakkan diatas tebing-tebing yang tinggi dengan menggunakan kayu kayu balok sebagai penyangganya. Sayang, karena sudah berusia ratusan tahun, kayu-kayu penyangganya itu banyak yang lapuk dan patah sehingga perahu-perahu berisi tengkorak manusia yang disangga-nya juga jatuh berhamburan ketanah. Jadi, saat menaiki tangga ini satu persatu, tak jarang kita akan menginjak potongan tengkorak yang memang banyak berceceran di tanah. Saya heran, kenapa kayu-kayu tidak dinaikkan lagi. Dan menurut seorang anak laki-laki yang menjadi guide kami (dengan bayaran Rp. 20.000), untuk menaikkan itu harus diupacarakan lagi. Tentunya hal tersebut membutuhkan biaya besar.. . . . . . . . . .Kami terus menyusuri tangga di kuburan batu itu hingga berakhir di sebuah gua yang gelap. Di gua itu banyak terdapat barang-barang seperti buku-buku bacaan dan minuman botolan. Konon katanya itu adalah barang-barang kesayangan mereka yang dikuburkan disitu. Tumpukan peti mayat juga terlihat di sebuah sudutnya. Seorang anak yang menjadi guide kami itu menawarkan diri untuk menemani kami masuk kedalam gua nan gelap itu. Dan dengan senang hati kami....menolak tawarannya. " No, Thank you..."

Sebenarnya, tidak hanya kuburan batu yang ada disitu. Ada juga mayat-mayat yang ditempatkan di dalam Patane, sebuah bangunan kecil yang dibentuk sedemikian rupa. Katanya, mereka yang ditempatkan di Patane ini adalah oranng-orang berada dan kalangan pembesar. Salah satu diantaranya yang ada disitu adalah Ketua DRPD Tana Toraja yang pertama. Di Depan Patane itu, ada patung kayu yang merepresentasekan sosoknya. Ada sekitar 5 atau 6 Patane disitu dengan beragam bentuk dan ukuran. Salah satu yang paling unik adalah yang berbentuk gendang besar ala Toraja. Katanya, didalamnya sudah ada sekitar 17 mayat yang disimpan.

Di tempat itu, kami juga sempat bersua dengan beberap turis asing yang datang dengan guide-nya masing-masing. Mereka bukan dari Inggris atau Amerika. Tapi dari negara Spanyol. Jujur saja, saya kagum dengan kemampuan bahasa latin yang ditunjukkan oleh Guide-nya (bahasa yang dari dulu ingin ku pelajari). Saya mulai merasa bahwa pengetahuan bahasa Inggrisku yang pas-pasan ini sudah semakin tak berarti di banding dengan mereka, para guide itu, yang sudah berbahasa asing lain. hikzzz . . hikzz . . hikzz . .!!

Memang, jumlah turis asing yang datang ke Toraja jumlahnya akhir-akhir ini merosot drastis. Terutama pasca kerusuhan akbar melanda Indonesia di tahun 1998 lalu. Turis yang datang, tinggal satu-satu. Jarang lagi mereka datang bergerombol sebagaimana di pertengahan tahun 1990-an. Fakta ini diungkapkan oleh seorang pedagang cinderamata yang kami singgahi usai menikmati kuburan batu itu. Tempat dia berjualan itu masih dalam lingkup lokasi Kete' Kesu. Tepatnya di depan jalan masuk. Kami singgah disitu untuk sekedar melepas lelah setelah tadi mendaki tangga hingga ke puncak dan mencapai gua, sekaligus melihat-lihat model cinderamatanya.

Beragam macam karya tangan diperdagangkan disini. Seperti gelang, kalung, asbak, tas, ukir-ukiran, hingga miniatur rumah Toraja. Beberapa ornamen-ornamen dengan ukiran khas Toraja juga banyak terdapat disitu. Bagi Yudha, hal itu adalah objek foto yang menarik.

Keramahan ibu itu, plus ketertarikan pada beberapa handycraft disitu membuat kami bersedia mengucurkan sejumlah uang untuk dibelanjakan. Tidak banyak memang, tapi lumayanlah untuk dibawa pulang. Yudha sendiri kebingangan karena ada terlalu banyak 'adik' yang harus dibawakan. Jumlah items pembelian harus disesuaikan juga dengan bujet yang tersedia. Dan Perhitungan pun dilakukan. Dengan berbagai pertimbangan kadar dan kualitas kedekatan. Jumlah yang dibeli pun ditentukan . . . . . . . . (tunggu-tunggu saja, siapa yang dapat dan siapa yang tidak..Hahahahahahha)

Usai 'low fund shopping' itu, kamipun berpamit. Karena hari juga sudah hampir maghrib. Kami masih harus menempuh perjalanan jauh dari tempat ini ke Makale, dimana kami menginap selama ini. Pamit kami itu ternyata juga sudah dinantikan oleh sang penjaga toko. Sesaat kami berlalu, dia langsung memasukkan barang-barangnya dan menutup tokonya.. . . ..

Kamipun bergerak pulang, menuju Makale. Mengakhiri petualangan panjang seharian ini. Sungguh, petualangan ini akan semakin komplet jika ditutup dengan menyantap sate ayam plus lontong yang terletak di pinggiran kolam kota, tepat di tengah Kota Makale. . . . . . . .Motor pun langsung kupacu secepat mungkin......

Dan begitu sampai di Makale, niatan ini langsung kami wujudkan.

Whuahhhh..... WHAT A HAPPY ENDING...!!!!



0 komentar:

Posting Komentar