Jumat, 19 Maret 2010

Knight's Tale 5 : Ruined Of The Throne


. . . . . . . Tempat yang terletak di tengah kastil Old Trafford ini merupakan tempat pertemuan resmi kerajaan Manchester. Ruangnya cukup luas dalam bentuk persegi panjang. Di tengahnya terdapat sebuah meja besar yang memanjang mengikuti bentuk ruangan itu. Puluhan kursi tersebar mengintari pinggiran meja. Jumlahnya mungkin sekitar 50-60 kursi. Kesemuanya terbuat dari kayu yang rapih dan diperhalus.

Tapi ada satu kursi yang berbeda. Lataknya juga tersendiri, tidak sebaris dengan yang lain. Dan lagi, dia tidak terbuat dari kayu. Melainkan semacam logam tertentu yang telah disepuh dengan emas pada beberapa bagiannya. Lembaran kain sutra halus berwarna merah turut menghiasi kursi itu. Ukurannya juga cukup besar dan yang terbesar diantara kursi-kursi yang lain. Singkat kata, kursi itu adalah sebuah kemegahan. Setidaknya jika dibandingakan dengan benda sejenis yang ada dalam ruangan.

Namun diantara kursi yang lainnya, hanya kursi megah itu yang belum berpenghuni dan kosong. Sementara kursi-kursi lain, sedari tadi telah diisi oleh sejumlah tamu dan pembesar kerajaan. Beberapa tamu lainnya terpaksa harus berdiri, karena kursi di ruang itu tak sepenuhnya bisa memenuhi. Mereka yang berdiri umumnya para Ksatria muda yang datang dengan pakaian kebesaran mereka, baju perang dengan sebilah pedang yang bersandar pinggangnya.

Dialog-dialog pun terurai diantara mereka. Isinya mungkin beragam. Tapi, tak sekilas pun terlihat diantara mereka yang tertawa, sebagaimana yang biasanya tersaji pada pertemuan-pertemuan seperti itu. Semuanya, tampil dengan wajah yang tegang, sayu dan sedih. Beberapa diantaranya terlihat menggeleng-gelengkan kepala, saat mendengar cerita dari yang lainnya. Sejumlah wanita di tempat itu sempat mengusap air yang turun dari mata mereka dengan sapu tangan putih miliknya. Isak tangis sedikit-sedikit menyelinap diantara riuh suara. Sungguh, ini bukan suasana yang menyenangkan.
“ . . Tet teteeeeeeeeeeeeeeeeeeeeett
. . . . . . . .!!!!” Suara terompet tiba-tiba terdengar menggema di ruang itu.

Kesemuanya yang hadir pun langsung sigap berdiri di depan kursinya masing-masing, sembari merapihkan pakaian kebesaran yang dikenakannya. Wanita-wanita yang sedari tadi terisak nampak membersihkan mata mereka yang mulai terlihat sembab. Di sudut-sudut ruangan, para prajurit pegawal mulai mengangkat emblem dan bendera kebesaran kerajaan berwarna merah.

Dari salah satu pintu di ruangan itu, kemudian masuk se-rombongan orang. Di barisan terdepan rombongan itu Nampak seorang pria separuh baya yang mengenakan jubah kebesaran kerajaan. Dia adalah Lord David Gill, ketua dewan penasehat kerajaan Manchester. Lord David, adalah pemegang kekuasaan kedua di kerajaan ini, di bawah sang Raja, Sir Alex Ferguson.

Selama ini, Lord David berkuasa penuh terhadap segenap instrument teknis kerajaan, serta menjadi pemegang mandat kekuasaan pemerintahan jika Sir Alex tengah berada di medan perang. Seperti juga saat ini, saat Sir Alex tengah memimpin Pasukan kerajaan Old Trafford yang agung untuk mempertahankan tahta mereka di tanah Eropa.

Dan hari-hari itu, telah tersiar kabar bahwa Pasukan Old Trafford gagal menuntaskan misi mereka untuk menumpas pemberontakan bangsa Catalan. Mereka kalah dalam perang dalam perang penentuan di tanah Roma. Mungkin sebab itulah yang membuat suasana kesedihan hadir di ruangan ini. Dan Sebab itu pulalah mereka berkumpul di balairung nan megah ini, untuk mendengarkan pemberitahuan sejelas-jelasnya dari Lord David, tentang peristiwa tersebut.

Lord David berjalan mengambil tempat di kursi megah yang sedari tadi kosong itu. Orang-orang yang diruangan itu memberi hormat dengan menundukkan kepala mereka. Setelah menerima salam penghormatan itu, Lord David pun duduk, yang kemudian diikuti semua yang hadir ruang itu. Di samping kiri-kanan Lord David, beberapa orang pengawal serta ajudan berdiri dengan setianya.
Mata Lord David sejenak menatap ke seluruh mereka yang hadir tepat di depannya. Dia bisa menangkap kesedihan dan kegalauan orang-orang itu, sebagaimana yang juga tengah dia rasakan. Tangannya di kepal-kepalkan di atas meja seperti orang bingung harus memulai dari mana. Setelah beberapa kali menarik nafas panjang akhirnya di mulai berbicara.

“ . . . . . Para Bangsawan dan Ksatria agung Manchester. Kalian mungkin sudah mendengar kabar dari daratan Eropa, kalau pasukan yang mulia Sir Alex gagal menumpas pemberontakan bangsa Catalan. Dan pada kesempatan ini, untuk pertama kalinya saya ingin mengatakan kalau berita itu .... BENAR ADANYA . .”

Lord David terdiam sejenak. Sementara itu para bangsawan yang hadir cuma tertunduk lesu. Namun berupaya menatap kembali ke wajah Lord David. Menunggu kata-kata selanjutnya.

“ Saya sudah menerima kabar ini langsung dari Roma yang dibawa oleh burung pos khusus kerajaan. Hmmmm . . . . Sebenarnya, ini adalah surat pribadi untuk saya dari Sir Alex, Tapi saya akan membacakannya di depan kalian, supaya kalian juga bisa mengetahui apa yang terjadi di tanah Roma sebenarnya . . ”.

Lord David kemudian melongok ke samping kanannya. Seorang ajudannya yang berdiri disitu kemudian memberikan sebuah gulungan kertas papyrus yang terikat denga benang emas. Seperti inilah tampilan surat kerajaan biasanya.

Oleh Lord David, gulungan itu kemudian dibuka dan dibacakannya. . . . . . . . . .. . . . . . .. . .. . .



Dear Lord David . . . . .

“ . . . . .Tidak ada yang menyangsikan keyakinan kami sebelum memulai peperangan itu. Jauhnya perjalanan yang kami tempuh semenjak dari pantai Cherbourg hingga ke Roma sama sekali tidak terasa. Ambisi dan totalitas perjuangan kami selama ini seakan mendapatkan tempatnya yang layak di pertempuran akhir ini nantinya. Kami semua yakin akan menjadi pengukir sejarah sebagai penguasa Eropa dalam dua masa berturut-turut.

Antusiasme dan keyakinan ini semakin membumbung saat kami menancapkan kaki di reruntuhan Kota Roma, di wilayah Olimpico. Inilah tempat yang menjadi bagian dari kegemilangan kita setahun yang lalu. Kamilah yang memporak-porandakan tempat ini, dan membuat penguasanya bertekuk lutut. Beberapa sisa bendera kemenangan masih nampak terpancang. Namun sebagian lain sudah rubuh. Kami pun memperbaikinya. Menegakkannya kembali, sebagaimana tujuan kami datang pada pertempuran ini. Untuk menegaskan supremasi Old Trafford di Eropa.

Pada hari pertama kami tiba Roma, belum tercium aroma perang. Bangsa catalan juga tengah dalam perjalanannya ke tempat ini. Seluruh pasukan saat itu sibuk membangun tenda dan mempersiapkan peralatan perang lainnya. Setelah itu . . mereka beristirahat. Mereka membutuhkan itu. Perjalanan dari Cherbourg memang melelahkan

. . . . . . Nanti pada hari kedua baru tedengar kabar bahwa pasukan pemberontak Catalan sudah mendekat malalui sisi timur gerbang kota Roma.. Seluruh pasukan pun langsung bersiaga. Saya dan beberapa Ksatria senior langsung menuju ke bukit kecil untuk melihat kekuatan mereka. Ternyata, jumlah mereka juga cukup banyak dan relatif berimbang dengan pasukan kita. Kedatangan kami yang memantau, diketahui oleh mereka. Beberapa pasukan berkuda mereka terlihat bergerak ke arah kami. Tapi saya merasa ini waktu yang belum tepat untuk melakukan konfrontasi. Saya lalu memutuskan untuk kembali ke pasukan. Namun Cristiano menolak. Dia ingin ‘melayani’ pasukan berkuda Catalan yang datang itu. Pedangnya sudah dia keluarkan dari sarungnya. Tapi perintahkau ku ulangi lagi. Bahwa konfrontasi baru akan dimulai besok. Cristiano dengan berat hati akhirnya bersedia turun kembali ke kemp pasukan.

. . .. . . . . Hari itu, dimana waktu pertempuran sudah ditetapkan, pasukan kami dalam kesiapan yang tinggi. Berturut-turut para Ksatria senior memberikan pidato penyemangat untuk meningkatkan moril dan semangat seluruh pasukan.

Pagi itu kami mulai bergerak ke sebuah padang datar nan luas di belahan timur kota Roma. Setibanya di sana, ternyata padang itu masih kosong. Pasukan Catalan belum tiba. Nanti berselang 40 menit kemudian, tiba-tiba bumi terasa mulai bergetar. Dari ujung selatan sana debu-debu beterbangan ke angkasa. Suara teriakan terdengar makin lama makin nyaring. Itu mereka . . bangsa pemberontak Catalan.

Keseluruhan pasukan mereka belum bisa terlihat, karena debu-debu yang menutupi pandangan mata. Tapi tak lama kemudian, sekitar 20 orang pasukan berkuda Catalan keluar dari kepulan debu itu. Mereka mengenakan pakaian perang berbalut besi. Beberapa diantaranya menenteng bendera kebesaran mereka seraya mengkibar-kibarkannya dihadapan kami.

Saya langsung memerintahkan pasukan untuk bersiap dalam formasi perang. Sangkakala perang pun kemudian dibunyikan . . . . .. . . . . .

Dengan semangat yang pasti, saya langsung memerintahkan serangan pembuka. Pasukan pemanah kami memulainya dengan menembakkan sekitar 500 anak panah kearah pasukan mereka. Tembakan pertama ini cukup sukses merontokkan sayap kiri infantry terdepan mereka. Sekitar 100-150 orang pasukan mereka roboh seketika. Saat itu pula saya langsung memerintahkan Cristiano untuk menorobos pertahanan sayap kiri yang limbung itu. Cristiano pun langsung memacu kudanya bersama sekitar 300 pasukaannya. Saya sebenarnya cukup cemas saat itu, karena tersiar kabar kalau pasukan Catalan di sayap kiri itu, di komandoi oleh Puyol. Dia seorang panglima perang yang tangguh dan sudah punya tempat tersendiri sebagai salah satu defensor terbaik di Eropa. Tapi ini kesempatan baik. Celah yang terbuka itu harus dimanfaatkan.

Pasukan Catalan nampaknya kaget dengan dengan serangan frontal kami di awal pertempuran ini. Mereka tidak sepenuhnya siap, saat Cristiano dan pasukannya mengobrak-abrik sayap kiri mereka. Cristiano bahkan hampir saja menjebol pertahanan mereka. Sayang, Park Ji Sung komandan pasukan penyusup kita gagal memanfaatkan celah itu. Dia terlambat. Pergerakan pasukannya terlanjur terbaca dan dihentikan oleh ketatnya pertahanan pasukan Catalan.

Walau begitu, pasukan kami cukup mendominasi awal pertempuran itu di berbagai lini. Pasukan Catalan Nampak sulit untuk mengembangkan strategi mereka. Keyakinan semakin besar tumbuh di hati saya bahwa kita akan segera menyelesaikan ini segera. Untuk itulah, saya tak segan-segan untuk memerintahkan beberapa divisi lagi untuk menyerang.

Sebuah perintah yang kemudian harus kusesali. . . . . . .

Memerintahkan sebuah serangan frontal bergelombang ke pertahanan bangsa Catalan ternyata meninggalkan lubang besar di pertahanan kami. Dan itu adalah sebuah kesalahan besar. Tiba-tiba saya mendengar sejumlah pasukan Catalan yang mengenakan pakaian hitam ala ninja sudah berada di tengah-tengah lini pertahanan kami. Pergerakan mereka amat cepat dan tidak terdeteksi. Menurut informasi yang saya dapat kemudian, pasukan ninja ini adalah kumpulan petarung-petarung dari tanah Afrika barat. Mereka umumnya adalah bekas anggota bajak laut yang kemudian tertangkap dan dijadikan budak di tanah Spanyol. Namun jika mereka diketahui memiliki kemapuan bertarung, mereka akan direkrut dan dijadikan bagian dari pasukan kerajaan. Umumnya mereka ini piawai dalam menyusup ke garis belakang pertahan lawan dan juga dalam mengenakan pisau. Tidak hanya itu, mereka ini juga umumnya brutal dalam menghabisi lawan-lawannya . . . . . .

Pertahanan kami yang di komandoi Ferdinand terang saja kaget dengan kondisi ini. Dia tidak siap sepenuhnya untuk bertahan. Saat pasukan ninja yang jumlahnya ribuan itu tiba-tiba hadir membakar semua persediaan logistic dan cadangan persenjataan kami. Tanpa pengawalan yang berarti, benteng sebelah utara pun jatuh seketika.

Dan ini bukan Cuma masalahnya jatuhnya sebuah benteng pertahanan ke tangan musuh. Tetapi lebih pada ambruknya moral pasukan dalam waktu sekejap. Bagaimana bisa dalam kondisi menyerang, tiba-tiba datang berita bahwa salah satu benteng telah ambruk dan di rebut.

Sebaliknya, moral pasukan Catalan pun sontak meningkat. Mereka menjadi lebih bersemangat dari sebelumnya. Mereka pun menghabisi dengan seketika pasukan-pasukan kita yang terlihat gamang dengan perkembangan yang terjadi di pertahanan kami. . . . Kondisi pun seketika berbalik 180 derajat. Mulai dari situ . . kendali pertempuran dipegang oleh mereka. Kami mulai berupaya membangun kembali pertahanan sembari mencari-cari kesempatan untuk bisa melakukan satu serangan besar-besaran.

Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Pergerakan pasukan mereka begitu dinamis. Suplai pasukan mereka dari lini pertahanan ke lini depan begitu lancar sehingga mereka terus memberikan tekanan konstan ke pertahanan kami. Sebaliknya, mereka juga sukses memotong alur serangan yang coba kami bangun. Kami kehilangan koordinasi di sentral pertempuran. Akhirnya, serangan yang kami bangun pun kerap berantakan dengan sendirinya.

. . . saat itu, saya mulai merasa berat dengan pertempuran ini. Sulit mengimbangi mereka yang sudah begitu merajalela dan mengusai hampir seluruh front.

Akhirnya perjuangan kami seperti menemui batas akhirnya saat benteng pertahanan selatan akhirnya juga ambruk. Messi, mungkin kau kenal nama itu. Dia dan pasukannnya-lah yang akhirnya mampu merontokkan pasukan Ferdinand yang telah mati-matian menjaga benteng itu.
Keadaan yang semakin terpuruk itu membulatkan keinginanku untuk segera mengakhiri pertempuran ini. Menjelang sore, saya memerintahkan segenap pasukan yang tersisa untuk segera menarik diri dari medan pertempuran. Pembicaraan diplomasi akan segera digelar . . . . . .

Dan sore harinya . . . kami pun mundur ke arah timur dimana kami berkemah semalam sebelumnya.
Pasukan terlihat sangat letih. Mereka terkoyak. Jauh dibelakang sana kami melihat bangsa Catalan itu sudah membakar semua milik kami yang tertinggal di medan pertempuran tadi. Asap membumbung dari tempat itu, mengiringi perjalanan kami ke tempat peristirahatan.

Setibanya di tempat peristirahatan itu, kami mulai membicarakan sebuah deklarasi penyerahan kekuasaan tanah Eropa pada mereka, bangsa Catalan. Kami sepakat, bahwa saya, Giggs dan Ferdinand akan menemui pemimpin mereka malam itu.

Namun saya terkejut, saat Cristiano tiba-tiba masuk ke kemah kami yang tengah berdiskusi tentang rencana penyerahan kekuasaan itu. Dia meminta kami untuk menunda rencana itu. Bahkan lebih jauh dia meminta izin untuk melakukan serangan malam dengan sisa pasukan yang ada. Nampak sekali dia masih menyimpan dendam yang tak tuntas dengan kekalahan siang tadi.

Saya jelas menentang itu. Begitu juga dengan Ksatria yang lainnya. Namun dia tetap ngotot. Bahkan hampir saja bentrok dengan Ferdinand yang paling keras menentang keinginannya. Mereka berdua sudah saling mengacungkan pedang. Mungkin karena melihat tidak ada yang berpihak padanya, Cristiano pun mengalah. Dia meninggalkan kemah kami dengan perasaan geram yang amat sangat.
. . .. . . Malam itu saya, Giggs, Rooney dan Ferdinand bersama beberapa pengawal menghadap ke pemimpin Catalan. Namanya Guardiola, usianya masih cukup muda. Namun dia adalah pemimpin yang cemerlang dan disegani oleh segenap armadanya.

Kami masuk ke dalam tendanya, dan dijamu dengan penuh penghormatan. Di dalam tenda itu sudah ada beberapa Ksatria Catalan yang lain. Saya akhirnya bisa melihat mereka yang siang tadi bertarung begitu perkasa. Ksatria kembar mereka, Xavi dan Andreas berdiri tepat disamping Guardiola. Di sudut sana, seorang Ksatria bertubuh kecil sedari tadi sibuk dengan segelas minuman hangat di tangannya. Dia enggan mendekat. Tapi dia tersenyum saat saya menatapnya. Saya baru tahu kalau dia itulah yang bernama Messi setelah diperkenalkan oleh Xavi.

Tak lama berselang, panglima lapangan mereka, Puyol, menyusul masuk ke tenda itu. Dia menyalami kami semua dan langsung ikut berdiri di samping Guardiola.

Pembicaraan pun berlangsung antara saya dan Guardiola. Saya akan menyerahkan tampuk kekuasaan Eropa kepada mereka dan akan segera kembali ke tanah Inggris dalam dua hari ini. Mereka juga berjanji tidak akan menganggu perjalanan kami saat kembali nanti.

Setelah pembicaraan itu, kami di jamu dengan makan malam di tenda kebesaran mereka.
Menjelang dini hari, rombongan kami meninggalkan markas bangsa Catalan itu, yang telah resmi mengisi tempat kami sebagai penguasa Eropa.

Kami sendiri rencananya akan segera meninggalkan Roma menuju ke Cherbourg besok pagi.
Surat ini saya tulis pada malam hari, sebelum kami bergerak besok paginya. . . . .”

. . . . . . . . . .. . . .

Usai membaca itu, Lord David menggulung kembali kertas, mengikatkan benang emasnya sebagaimana sebelumnya dan menyerahkannya kepada ajudan yang berdiri di sampingnya.
Semua orang yang hadir di balairung itu semuanya membeku, terdiam tanpa kata. Sebuah ironis langsung hadir saat mengingat bahwa seminggu lalu di tempat ini, Lord David mengumumkan bahwa mereka berhasil mempertahankan tahta sebagai pemimpin Inggris setelah pasukan Liverpool untuk kesekian kalinya mengaku kalah dan mundur dari arena pertempuran. Saat itu mereka menari, berjoget dan tertawa riang sambil membanjiri diri mereka dengan berbotol-botol champagne . . . . . . . sebuah pesta kemenangan yang utuh.

Sedangkan hari ini, mereka tak bisa melakukan itu. Nun jauh disana, pasukan kebanggaan mereka tengah terpuruk dan terpojok. Entah bagaimana wujud mereka nanti saat tiba kembali ke tanah Inggris. Dan mereka hanya bisa menatap nanar, kosong sambil berharap semuanya bisa menjadi lebih baik dari apapun yang mereka bayangkan

*********

Sementara itu nun jauh dari kemegahan Kastil Old Trafford, tepatnya di sebuah gubuk kecil di tepi danau White Swanse, dua orang terlihat tengah beradu pedang dengan lincahnya. Satu diantaranya sudah berusia cukup lanjut, namun seperti masih memiliki kekuatan masa mudanya. Masih tangkas dan liat dalam bermanuver. Sementara yang lainnya adalah seorang pemuda yang gagah. Beralis tebal dengan rambut keriting yang saat itu seperti tidak terperhatikan. Ada yang ganjil dari pemuda ini, tangan kirinya nampak masih terbalut perban kain. Tapi perban itu tidak terlalu mengganggu pergerakannya saat beradu pedang tadi. Dia mampu menangkal serangan yang dilancarkan oleh orang tua yang menjadi lawannya dan balik melakukan serangan. Walau beberapa kali sempat mengerang perih karena cedera itu.

“ Gerakanmu sudah mulai membaik dari hari ke hari “. . ujar si orang tua sambil terus menyerang si pemuda itu

“ oh . . ya . .?” jawab sang pemuda sambil terus berkelit menghindari serangan pedang itu.

“ . . saya kagum pada kemajuan pesatmu. Cedera selama 8 bulan ini seperti tidak mengganggu sentuhanmu. Luar biasa . . saya tidak pernah merawat orang yang sebegitu pesat kemajuannya seperti dirimu. Saya yakin kau bisa kembali secepatnya ke Kastil Old Trafford dan mengulang kejayaan yang telah kau raih setahun lalu . . .”

Sang pemuda hanya tersenyum kecil sambil terus memainkan pedangnya, menangkis serangan.

“ Kau benar-benar mau tahu kenapa . . ? ” tanya pemuda itu

Si orang tua hanya mengangguk pelan . . .

“ . . Itu, karena saya . . adalah . . . .”
Pemuda itu tidak langsung meneruskan kata-katanya, karena melihat ada celah untuk menyerang balik dan menaklukkan orangtua yang menjadi lawan tandingnya itu. Dan dengan satu hentakkan dia berhasil membalikkan keadaan, menjatuhkan pedang orang tua itu dan mengancungkan pedangnya tepat dilehernya yang sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi

“ . Owen Hargreaves. The Princess of Bavaria . .” . . akhirnya dia meneruskan kata-katanya yang terpotong tadi sambil tersenyum puas . . . .
Be continued . . . . .

0 komentar:

Posting Komentar