Jumat, 19 Maret 2010

Keajaiban Dari Sebuah Kafe -- Girl In The Cafe


....Sungguh sebuah keajaiban kalau ternyata kelangsungan kehidupan jutaan warga miskin di Afrika ditentukan di kafe itu pada suatu siang. Dan keajaiban ini bertambah sempurna karena yang kemudian 'menentukan' itu, ternyata bukan para pembesar negara adidaya yang punya kuasa. Tapi oleh seorang wanita yang tengah duduk di kafe sendirian dengan segelas kopi Italia yang tak begitu dinikmatinya.

Kafe itu terletak di sebuah sudut kota London yang sibuk. Sibuk dengan tingginya ritme kerja yang rewel akan segala hal. Tuntutan yang panjang berderet, sementara waktu terlalu sedikit. Dan merekapun dipaksa berpacu. Sebuah pemandangan yang lazim bagi negara maju semacam Inggris.

Termasuk pula yang dialami si tua Lawrance, seorang staf kementerian Keuangan di negaranya David Beckham itu. Terlebih karena kantornya tengah diperhadapkan pada sebuah agenda besar, pertemuan delapan pemimpin negara maju (G-8) di Reykyafik. Nun jauh di belahan bumi utara sana, Islandia.

Banyak yang harus dia selesaikan sebelum pertemuan itu. Tapi kepenatan menuntunnya untuk pergi sebentar, beristirahat. Mengambil waktu jeda di sebuah kafe untuk menyeruput barang segelas teh. Dan disitulah dia kemudian bertemu dengan seorang perempuan yang sendiri. Bukan pertemuan yang direncanakan memang, dan berlangsung sangat ringkas. Obrolan mereka juga ringan saja, terkecuali saat perempuan itu menceritakan tentang pacarnya yang enggan duduk berhadapan dengannya. Selebihnya, adalah basa-basi.

Tapi entah kenapa, pertemuan itu ternyata berkesan bagi Pak Lawrance. Hingga dia pun menggagas pertemuan berikutnya, yang segera diiyakan oleh Gina, perempuan tadi. Disinilah keajaiban itu mulai menyeruak. Saya sendiri heran, entah pesona apa yang dimiliki oleh Gina --terkecuali bahwa dia memang manis-- sehingga mampu mengalihkan perhatian Pak Lawrance dari tumpukan kewajiban kantornya. Tidak ada hal spesial yang terjadi, tidak ada juga pembicaraan khusus yang teruntai selama pertemuan 10 menit itu. Tapi sekejap, seorang Gina telah membuat Pak Lawrence kelimpungan. Bayangan perempuan itu, dalam waktu ringkas mampu menggusur beban pekerjaan yang dibawanya dari kantor tadi.

Pertemuan-pertemuan selanjutnya pun terjadi. Sampai akhirnya, ketertarikan Gina akan Reykyafik mendorong Pak Lawrance untuk mengajak serta perempuan itu ke pertemuan yang akan dihadirinya, G8 Summit. Sebagai pejabat senior di kementrian keuangan, Pak Lawrance memang punya 'jatah' untuk mengikutkan istri atau pasangannya ke pertemuan tingkat tinggi itu.

Pertemuan G-8 di Reykyafik itu diperkirakan akan berlangsung panas. Ada rencana terselubung untuk tidak mengikutsertakan rancangan Millenium Development Goals (MDG's) ke dalam agenda pembicaraan. Sebuah rancangan pengucuran dana pengentasan kemiskinan dan keterpurukan untuk negara-negara miskin di Afrika. Dan sebagian berniat mengabaikan ini. Ancaman resesi ekonomi memang tengah mengintai pada tahun-tahun itu. Termasuk pada negara-negara maju semacam Inggris. Negara pun butuh cadangan keuangan yang lebih banyak, sebagai persiapan antisipatifnya. Mereka ini kemudian berargumen, daripada digelontorkan untuk negara-negara miskin di Afrika sana, lebih baik uang mereka disimpan sebagai cadangan jikalau krisis ekonomi benar-benar melanda. .

Rupanya, gagasan ini sudah menjadi kesepakan umum para peserta G8. mereka, para pemimpim negara-negara maju ini punya ketakutan yang sama akan bayang-bayang krisis. Maka mereka pun sepaham untuk --berpura-pura-- lupa agenda MDG's itu. Materi pembicaraan hanya berputar-putar pada isu perdagangan kapitalistik, tanpa sedikitpun menyentuh isu 'perlunya menyediakan dana' untuk kelangsungan program MDG's.

Mungkin itu sebabnya, pertemuan ini dilangsungkan di sebuah negara kecil yang tenang dan tak terlalu bising semacam Islandia. Hal ini tentusaja untuk menghindari 'kejaran' para demonstran dan orang-orang yang anti terhadap koorporasi global dan menuntut diberikannya perhatian pada pembangunan di negara-negara terkebelakang. Demonstran semacam itu memang sudah menjadi agenda wajid setiap kali G8 menggelar pertemuannya. Terlebih, jika isunya seperti ini, mengabaikan yang lemah.......... Dan Reykyafik pun dipilih. Supaya pertemuan lancar, tanpa pendemo.

Tapi ternyata tidak seperti itu. Reykyafik memang tenang dan minim akan demonstran. Tapi Gina ada disitu.

Gina yang datang dengan pak Lawrance sebenarnya bukanlah seorang aktifis yang lantang menyuarakan keadilan sebagaiamana yang ramai diluar sana. Gina hanyalah seorang wanita yang merasa janggal dengan apa yang diceritakan oleh Pak Lawrance tentang semua yang terkait dengan pertemuan itu. Dia kaget kalau ternyata pertemuan itu lebih tertarik untuk menaikkan tarif impor kopi dari pada menyelamatkan jutaan anak-anak di Afrika yang terancam kelaparan. Tapi mungkin disinilah 'kekurangan' pak Lawrance. Dia terlalu jujur pada wanita yang baru dikenalnya, sehingga menceritakan semuanya. Dia lupa kalau Gina, bukanlah orang-orang seperti dia. Yang sudah termakan doktrin 'kebijakan' sebelum keberangkatan dulu. Mereka, para birokrat ekonomi itu, sudah paham benar bagaimana isu-isu akan digulirkan sepanjang pertemuan nanti dan tak secuil pun boleh membincangkan MDG's.

Dan pada beberapa jamuan informal delegasi Inggris dimana Gina turut didalamnya, perempuan ini pun bersuara. Sebuah suara yangpastinya terdengar 'sumbang' pada pertemuan semacam itu, namun 'diharapkan' oleh jutaan orang miskin nun jauh di tanah Afrika sana. Dia mempertanyakan tentang dihapuskannya agenda MDG's, sementara setiap detiknya satu anak di Afrika mati karena didera kelaparan. Sebuah 'interupsi' yang tak lazim bahkan dilayangkannya saat sang perdana menteri Inggris tengah menyampaikan sambutan. Orang-orang yang hadir pun seketika terhenyak dan kaget. Tak pernah sebelumnya ada interupsi semacam ini saat sang pemimpin bicara. Terlebih yang dia bicarakan adalah masalah 'sensitif', yang semua orang disitu sengaja tak membicarakannya. Terlebih yang melakukan itu hanyalah seorang Gina yang asing bagi mereka dan tak jelas asal muasalnya

Gina pun akhirnya terusir karena aksinya. Dia sebenarnya sudah memahami konsekuensi itu. Tapi baginya, inilah jembatan emas yang orang diluar sana tidak miliki. Berbicara langsung didepan hidung para pembuat kebijakan yang pongah, dan bebal atas semua hal yang terjadi.

Begitupun Pak Lawrence. Dia tersudut karena dianggap membawa orang 'sembarangan nan lancang' ke pertemuan se-penting itu. Berikutnya, Pak Lawrence memutuskan mundur dari pekerjaannya secara tersadar dengan semua hal yang dikatakan Gina tentang keadilan dunia.

Mereka berdua memang kemudian terpinggirkan, tapi kemudian delegasi Inggris akhirnya memutuskan untuk mengusulkan isu MDG's ini sebagai agenda pembahasan pada saat-saat terakhir pertemuan G8 ini. Entah keajaiban apa yang hadir dan mengubah alur pikir para petinggi itu. Entah karena Gina yang berani, atau karena Pak Lawrance yang terlalu jujur.

Yang jelas setelah itu, Gina dan Pak Lawrence mungkin akan lebih sering bertemu di kafe, di sudut kota London itu. Menikmati secangkir teh Italia sembari menyusun keajaiban yang lain . . . . . . . . Keajaiban yang berawal dari sebuah Kafe.

0 komentar:

Posting Komentar