Jumat, 19 Maret 2010

It was a Bad Day


Hari itu, sekitar tiga tahun lalu. Di tanggal yang aku lupa persisnya, tapi kemudian terekam sebagai salah satu hari 'Terburuk' dalam hidupku.
Iya, buruk karena semua kejadian di koridor itu. Saat aku melihatmu tengah duduk berbincang dengan seorang yang sebenarnya tak terlalu asing bagiku. laki-laki itu, aku mengenalnya sebagai anggota sebuah bisnis jaringan yang tengah kau dan aku geluti. Pada beberapa kesempatan dan pertemuan bertajuk 'bussiness meeting', aku sempat melihatnya beberapa kali. Dia jelas rekan bisnismu. Tapi aku tak pernah bisa menerima itu . . entah kenapa.

Sekali lagi, itu menjadi begitu buruk karena tiba-tiba saja kau seakan 'mengacuhkanku' saat dia datang menemuimu di siang itu. Padahal satu jam sebelumnya, aku berada di tengah antrian panjang loket pembayaran SPP untuk menyelesaikan PEMBAYARANMU. Saat itu, aku harus berjubel dengan ratusan orang dan berdiri disana selama sekian puluh menit. Tapi saat aku kembali menemuimu dengan butiran peluh yang memenuhi wajahku, kau justru terlihat sibuk untuk 'menyambut' kedatangannya.

Kau mungkin bingung karena tiba-tiba aku memilih berlalu dari tempat itu, meninggalkan kalian berdua. Tapi sesungguhnya aku tak benar-benar pergi. Aku hanya mengawasimu --dan dia-- dari jauh, dari tempat yang tak bisa kau lihat. Pesan singkatmumu yang menanyakan dimana keberadaanku saat itu, juga kuterima dengan baik. Dan kau tahu, aku berbohong saat memberitahuan bahwa aku tengah menemui salah seorang Dosen kita. Karena memang, aku tidak kemana-mana . . .

Dari tempat itu, aku tak lepas mata mengamati kalian yang tengah berbincang-bincang. Entah kenapa, saat itu adrenalinku tiba-tiba menegang. Darah ini seakan mengalir begitu derasnya dan seakan-akan membuncah keluar dari rongga-rongga otakku. Ada emosi yang meluap begitu hebatnya. Sedikit saja ada pemantik saat itu, aku bisa menjadi murka. Kau tahu, setiap melihat tingkah laki-laki yang tengah berbincang denganmu itu, aku seakan ingin berteriak lantang di pinggiran kupingnya, dan mengajaknya duel di lapangan luas di bawah sana. Walaupun tak jelas untuk alasan apa. Tapi, keinginan itu tiba-tiba surut saat pandanganku kugeserkan ke arahmu. Saat itu, saya mulai mengakui kalau perkatan orang-orang benar bahwa 'Wajahmu itu Mendamaikan dan menyejukkan'. Huhfff . . . Menarik napas panjang, hanya itu yang bisa kulakukan saat itu.

Sekitar 10 menit aku berada ditempat persembunyianku itu, mengamati obrolan kalian di koridor atas. Sampai kemudian salah seorang sahabat memintaku untuk diantar membeli sesuatu di lain tempat. Aku segera mengiyakan, karena mulai merasa tak baik jika terus berada di tempat itu dengan pikiran yang tengah carut-marut. Aku bersedia mengantarkannya dengan syarat, kita harus mengambil jalan memutar menuju ke tempat parkiran. Jalan terpendek memang tersedia. Namun itu berarti aku harus menampakkan diri di koridor itu, diantara kalian berdua. Dan saya tidak menginginkan itu. Bukan apa-apa, jangan sampai aku tiba-tiba khilaf dan melakukan hal-hal yang buruk terhadap dia.

Dan Sahabatku itu, ternyata mengerti betul apa alasanku memilih untuk memutar jauh menuju ke tempat parkiran itu. Dia terus tersenyum, dan bernyanyi menyindir-nyindir sepanjang perjalanan kami, dengan sebuah lagu milik grup band Dewa ".... Ingin kubunuh pacarmu, saat dia cium bibir merahmu, di depan kedua mata-ku. Aku terbakar jadinya . . . "

* * * * *

Kenangan 'Hari terburuk' itu tiba-tiba hadir lagi . . . . . . . kau tahu kenapa...?

Kemarin aku pergi ke sebuah bank swasta untuk menemani seorang pamanku. Dia tengah mengurus tetek-bengek kredit rumah yang barusan diambilnya. Saat dia masuk ke salah satu ruangan, aku hanya menunggunya di barisan kursi antrian bersama puluhan nasabah lain. Sekitar 15 menit berselang, seorang laki-laki datang duduk tepat dihadapanku. Saat aku menoleh melihat wajahnya, tanpa sadar kedua tanganku tiba-tiba terkepal kencang dan nafasku memburu cepat. Dia, laki-laki yang duduk berbincang bersamamu di koridor itu tempo hari. Aku mengenal baik wajahnya. Sangat baik malah . . . .

Saat melihatnya, sontak emosiku tiba-tiba naik untuk beberapa saat. Dan untunglah, hal itu hanya terjadi beberapa saat. Mungkin itulah yang dalam Psikologi Komunikasi disebut sebagai 'sensasi', atau respon cepat kita terhadap sesuatu.Biasanya itu terjadi jika 'sesuatu itu' punya kesan kuat bagi kita. Mungkin hampir sama jika kita tiba-tiba melihat orang yang kita 'kagumi' melintas dihadapan kita. Jantung berdegup kencang dan menjadi tak tenang........ Biasanya dia terjadi hanya dalam waktu 1-5 detik pertama. Pada tahap ini, yang berperan dominan adalah emosi kita. Nanti beberapa saat kemudian baru kognisi kita yang kemudian akan mengambil alih mekanisme kerja otak (pada tahapan ini, dia disebut persepsi). Pada saat otakku sudah memasuki tahapan 'persepsi' itulah aku mulai bisa mengembalikan kesadaranku. Kepalan tanganku mulai melemah dan aliran darahku terasa normal lagi . . . . . . . Pada suatu momentum, kami sempat bertatapan. Dia tersenyum duluan dan langsung ku sambut senyuman hangat pula. Dari gelagat dan air mukanya, sepertinya dia juga mengingatku dan ingin sekali membuka perbincangan (karena memang kita sudah saling mengenal wajah satu sama lain). Namun, karena HP-ku tiba-tiba berdering, aku pun mengabaikannya dan sibuk dengan pembicaraan teleponku. . . .

Usai mengakhir percakapan lewat telepon, pamanku juga sudah selesai dengan urusannya. Kami pun langsung hendak beranjak pergi.
Sesaat kemudian aku pun berdiri lalu memalingkan wajah ke arahnya untuk berpamitan :

" Eh, Cess, duluan ka' nah....!!!" Ujarku sambil tersenyum dan

Dia lalu balas tersenyum hangat . . . .

"Oh.. iye . . hati-hati ki'.."


. . . . . dan sekali lagi. Ini tentangmu, tentang masa lalu, Kita

0 komentar:

Posting Komentar