Jumat, 19 Maret 2010

Harapan dan Keberanian


Dalam sebuah perjuangan, darimana sekiranya keberanian itu berasal . . ??

Sebelumnya, saya masih berpegang pada pemahaman dari tumpukan buku 'motivasi' untuk menjawab itu. Umumnya, buku-buku itu bersepakat bahwa keberanian hadir dari sesuatu yang bernama Harapan, Keinginan ataupun Cita-Cita. Ketiganya mungkin memiliki definisi yang berbeda. Tapi letak ketiganya sama. Mereka berada di depan sana, di ujung akhir dari sebuah perjuangan. Ada titik awal, kemudian perjuangan, dan akhirnya akan bertemu dengan ketiganya. Semacam hadiah, mereka diletakkan di sebuah meja yang hanya bisa kita lihat dari jauh. Mereka kemudian melambai-lambaikan tangan ke kita, membuat kita bergerak dan bersedia menempuh segala resiko untuk memenuhi panggilan mereka.

Semakin besar harapan, keinginan dan cita-cita itu, maka semakin keras pula usaha kita dalam memperjuangkannya. Tak peduli seberapa hebat rintangan yang ada dan seberapa terjal tebing yang menghalang. Dari situlah, akan muncul berbagai sugesti pendorong (stimulan), dan dari situlah akan hadir KEBERANIAN. Dalam konteks itu, semua resiko terasa kecil, dan semua ancaman mudah untuk dinafikan. 'Tak akan ada yang mampu menghalangi seorang yang berkehendak kuat'. Kalimat itu menjadi pembuka dari hampir semua buku motivasi yang pernah kuintip.

Tapi kemudian aku menemukan bahwa Keberanian bisa saja hadir dari cara yang berbeda. Cara yang tidak menempatkan 'Harapan, Keinginan dan Cita-Cita' sebagai titik mula-nya.

Adalah Sersan George Luz yang kemudian menunjukkan, bahwa keberanian punya lorong lain untuk muncul di dalam diri kita. Luz sendiri, adalah anggota kesatuan penerjun Easy Company Amerika Serikat pada perang dunia ke II. Kala itu mereka ditugaskan untuk merebut Kota Carentan, di sebelah Selatan Prancis. Kota ini sebelumnya dikuasai oleh NAZI Jerman. Karena stratgisnya Kota ini, maka tentara Nazi tidak begitu saja mau melepasnya. Terlebih mentalitas Jerman adalah mentalitas yang tak mudah menyerah dan keras kepala. Maka Sersan George Luz dan kesatuannyapun harus bertarung keras untuk itu.

Pertempuran kotapun tergelar, sebagaimana yang direka ulang dalam salah satu serial Band Of Brother. Dalam film itu terlihat jelas bagaimana keberanian dan heroisme ditunjukkan oleh setiap angggota Easy Company dalam merebut jengkal demi jengkal kota Carentan ini. Mereka menerobos sergapan senjata mesin tentara Jerman dan hantaman peluru dari Tank Panzer. Setiap perintah untuk merebut posisi tentara Jerman di turuti dengan mantap tanpa memperdulikan resiko kematian yang bersembunyi diantara ribuan peluru lawan. Pada titik itu, segala rasa takut diabaikan dan bayangan akan kematian diakrabi

Tapi dalam sebuah kesatuan militer yang terdiri dari berbagai kepala, tidak bisa berharap semua akan seragam. Diantara berbagai keberanian yang ditunjukkan oleh Easy Company itu, terselip satu pengecualian. Pengecualian itu bernama Albert Blithe. Mungkin prajurit yang satu ini tidak benar-benar siap akan sebuah medan pertempuran. Dia mengalami ketakutan yang luar biasa. Desingan peluru yang nyaris pernah berhenti, dentuman mortir yang bersahut-sahut, teriakan orang yang terkena peluru, usus-usus yang terburai, kaki yang putus, kepala yang hancur dan berbagai pengalaman buruk lainnya, sukses membenamkan kewibawaan dia sebagai seorang tentara. Hingga kemudian dia mengalami kebutaan, yang untungnya, hanya sementara. Kebutaan itu -menurut dokter pasukan-- adalah bagian dari 'Traumatic War Syndrome' atau Histerycal blindness, yang merupakan tingkatan tertinggi dari 'Ketakutan' dalam perang.

Hari demi hari, pertempuran demi pertempuran, Blithe belum juga beranjak dari keterpurukan mental itu. Ketakutan akut yang membuatnya tak berani melepas satu peluru pun dari senapan Rifle Round-nya. Sebagai salah satu senior di kesatuan Easy Company, Sersan George Luz menyadari keadaan ini. Dan pada satu malam yang mencekam, Sersan asal Iowa itu menjumpai Blithe yang tengah terjaga di lubang perlindungannya. Situsi saat itu memang menegangkan. Posisi pasukan mereka hanya terpaut beberapa puluh meter dari pasukan Nazi Jerman. Menurut intelejen, pasukan Jerman itu akan melancarkan serangan balik dalam upaya merebut kembali Kota Carentan pada keesokan pagi. Maka Easy Company pun harus bersiaga. Waktu jeda di malam yang tersisa itu dimanfaatkan seluruh pasukan untuk beristirahat dilubang-lubang perlindunganya masing-masing. Tapi Blithe, dia tidak bisa mengambil kesempatan itu. Adrenalinnya terus menegang, matanya terus terjaga dan jiwanya terus waspada. Sayang, semua itu bersumber dari ketakutan dan kecemasan yang amat sangat besar. Dia tak bisa beristirahat karena terus gelisah.

Maka Sersan George Luz pun menyempatkan diri untuk menemani Albert Blithe dalam ketakutannya di malam itu.

" Bagaimana perasaanmu . . . ? " tanya Sersan George Luz

" Tidak begitu baik . ." jawab Blithe. Matanya masih menatap kosong ke sembarang arah

" Kau tahu apa yang menyebabkan munculnya ketakutanmu dalam pertempuran ini . . ? "

Blithe tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala perlahan.

" Kau tahu, ketakutanmu itu muncul, karena kau masih menyimpan HARAPAN dalam dirimu " . . Ujar Luz sembari meyelakan cerutunya.

Sepintas, Blithe terhenyak, demikian juga saya yang saat itu tengah menyeruput segelas kopi.

Bagaimana bisa sebuah 'HARAPAN' akan menjadi awal munculnya ketakutan. Saya kemudian mengulangi adegan itu beberapa kali. Mungkin ada yang salah dengan kata-kata George Luz. Tapi setelah sekian kali diulang, hasilnya tetap sama.

Tapi sekali lagi, bagaimana bisa . .? Bukankah harapan adalah awal dari sebuah usaha tak kenal lelah dan tak kenal putus ? Bukankah harapan merupakan sumber inspirasi yang bisa menggerakkan tubuh kita secara otomatis untuk bergerak mencapai harapai itu ? Bukankah harapan juga bisa membuat kita tidak memperdulikan betapa beratnya rintangan di depan sana dan kemudian memunculkan keberanian ?

Beberapa saat usai Blithe --dan aku-- terhenyak, Sersan George Luz melanjutkan kata-katanya kepada Blithe

" Aku tahu pasti, kau masih menyimpan HARAPAN untuk menjumpai keluargamu setelah perang ini berakhir. Kau masih berharap akan adanya kedamaian, dan kau menjadi bagian dari situasi damai itu. Kau masih berharap bahwa setelah ini, kau akan bersepada bersama teman-temanmu di sebuah kota yang tenang, tanpa adanya ancaman perang dan suara peluru. dan Kau Tahu, itulah sumber ketakutanmu sebenarnya. Kau tidak menyadari bahwa harapan-harapan untuk menikmati semua keindahan dan kedamaina itu, membuatmu enggan dan takut untuk mengambil resiko kematian. Kau takut untuk bergerak, takut untuk bertindak karena peluru Nazi Jerman bisa sewaktu-waktu mengenaimu. Dan akhirnya, kaupun hanya bisa mengurung diri dan bersembunyi dalam ketakutan . . . . Kau tahu, bagi kami, harapan itu sudah tidak ada. Kami tak pernah menyimpannya dalam hati ataupun di kepala ini. Kematian sudah ada disamping kami sekarang, Dia akan segera menjumpai kami, cepat atau lambat. Maka daripada itu, lakukanlah yang terbaik yang kau bisa lakukan. Bunuh tentara Jerman sebanyak-banyaknya. Kami tak pernah menyimpan harapan untuk sebuah kehidupan yang damai. Kami tahu, dengan berada disini, berarti kami sudah berada ditengah kematian. Dan sekali lagi, lakukan yang terbaik sebelum kematian itu datang. Tak perlu bersembunyi. Itulah kenapa kami tak pernah mengenal rasa takut. . . sekali lagi, bunuh semua harapan-harapanmu itu. "

Usai menceramahi Blithe, Sersan George Luz pun beranjak dari tempat itu, meninggalkan Blithe di lubang perlindungannya dengan berbagai deretan pemikiran.

Tapi, saya kemudian teringat, bahwa bahasan seperti itu sebenarnya sudah pernah kuketahui. Dalam Islam, Nabi pernah mengatakan untuk melakukan sesuatu sebaik-baiknya, seolah kita akan mati besok. Ini bahasan tentang totalitas, sebuah upaya penuh untuk mewujudkan harapan . . .

Dan juga, bahwa dalam 'Ketiadaan Harapan', pada situasi tertentu bisa menjadi sumber kekuatan, sudah di sampaikan oleh seniman perang Tiongkok Sun Tzu. Penyampaiannya sederhana : " Berhati-hatilah pada tikus yang tengah tersudut, dia bisa menjadi makhluk yang paling berbahaya dalam kondisi itu . . "


Entah bagaimana Blithe kemudian memaknai kata-kata Sersan Geoge Luz itu. Yang pasti, pada pertempuran di keesokan harinya, untuk pertama kali prajurt ini menembakkan senjatanya ke arah Pasukan Nazi Jerman. Satu tembakannya kemudian sukses membuat tersungkur seorang lawan yang saat itu tengah terdesak mundur.

Keberanian itu perlahan mulai terbit bagi Blithe. Sayang, itu tidak berlangsung lama. Pada penyergapan disebuah rumah, dia --dengan keberanian tinggi, karena yang lain enggan melakukannya-- mengajukan diri untuk memimpin satu regu kecil pasukan. Namun, beberapa meter menjelang rumah itu, sebuah peluru yang ditembakkan oleh sniper Jerman tepat mengenainya.

Dia pun jatuh tersungkur dan tewas seketika . . .

0 komentar:

Posting Komentar